Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Takjil untuk Nenek Liah

6 Mei 2019   13:20 Diperbarui: 7 Mei 2019   13:32 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari pixabay

Sejak tiga tahun ke belakang, pada awal Ramadhan aparat desa di desa saya mulai memberikan sembako, sementara pada pertengahan puasanya, kami rutin membagikan takjil bagi para lansia atau jompo yang hidup sendirian dan sudah tak punya siapa-siapa.

Di desa saya, ada tiga orang lansia yang masuk dalam kategori tersebut.  Pertama ada Nenek Ipah, lalu Kakek Rustam, dan ketiga, yang saya pikir paling melekat di ingatan saya, Nenek Liah. Masliah nama lengkapnya, beliau adalah lansia tertua ketiga di desa saya. Usia beliau pada bulan Februari lalu harusnya sudah 86 tahun.

Saya merasa dekat dengan beliau meski pun tidak memiliki keterkaitan darah. Entah bagaimana dengan beliau. Mungkin ingat, atau sama sekali lupa dengan saya. Karena beliau sudah pikun.

Saya bekerja di desa saya sebagai salah satu aparat.  Jabatan saya adalah sebagai Kepala Lingkungan atau Kepala Dusun. Saya lulus tes perangkat desa di kecamatan pada bulan April tahun 2016 lalu, dan menjadi Kepala Lingkungan termuda kedua sekecamatan. Usia saya waktu itu 21 tahun.

Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, pada pertengahan Ramadhan, desa saya akan membagikan takjil untuk lansia. Kebetulan saya adalah salah satu dari dua orang petugas yang membagikan takjil pada setiap hari menjelang sorenya. 

Selama tiga tahun, saya merasakan makna berbagi secara lebih mendalam. Belajar memahami dan bersyukur atas apa yang saya miliki; orangtua yang lengkap, rezeki untuk berbuka puasa dan hidangan yang setiap hari tersaji di meja makan saya.

Pertengahan Ramadhan tahun 2016 adalah pertama kali saya mengenal Nenek Liah. Walau pun berada pada satu desa yang sama, sebelum saya bekerja sebagai aparatur desa, saya memang kurang mengenal orang-orang di desa saya sendiri. Saya sedikit anti sosial. Ketika itu saya mengantarkan takjil sekitar pukul setengah lima sore ke gubuk kecil beliau.

Saya tak bisa banyak berbicara dengan beliau. Karena selain pendengaran beliau yang sudah agak terganggu, omongan beliau juga seperti orang berkumur-kumur alias susah dipahami.

Hal yang paling saya ingat waktu itu dari beliau adalah kata-kata "Siapa ngini?" dalam Bahasa Banjar, yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia "Ini siapa?" atau "Kamu siapa?" merujuk pada saya dan teman saya. Dengan tatapan khas orang-orang renta, dengan otot mata yang seperti tegang dan iris memutih yang mengikuti warna rambut.

Lantas saya dan teman saya memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama kami masing-masing. Malah saya sebutkan beserta nama orangtua dan kakek-nenek saya. Setidaknya, barangkali beliau kenal atau ingat dengan kakek-nenek saya. Tapi ternyata tidak. Beliau terlalu pikun untuk mengingat orang lain.

Hari-hari sesudahnya pun sama. Bahkan sampai Ramadhan tahun 2018 lalu, ketika saya (yang masih) menyerahkan sembako dan takjil ke rumah beliau, beliau selalu dan masih menanyakan hal yang sama setiap kali saya datang, "Kamu siapa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun