Mohon tunggu...
Arry Pohan
Arry Pohan Mohon Tunggu... -

dan harus lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

“Melihat Ayah”

20 Oktober 2013   20:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:15 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mengingat ayah seperti melihat pelangi: Merah, kuning, hijau, biru dan lembayung. Itu warna yang diciptakan ibu, Za, dan Syi, agar aku bisa mengenal Ayah.

“Menikahlah Li.

“Li mau menikah. Tapi dengan lelaki yang mirip Ayah.”

“Li harus percaya dia jauh lebih baik dari Ayah.”

“Siapa bilang!”

“Li harus percaya Ayah”

* * *

Aku adalah kelopak yang berjatuhan saat angin mengetuk, Rapuh. Tapi Ayah selalu bisa kembali menjadikan aku kuntum. Harum dan kokoh. Tak ada lelaki sehebat Ayah. Ia selalu berlari, memeluk lukaku, lalu mengusap air mataku.

“Li sudah jatuh, berarti sebentar lagi, Li sudah bisa naik sepeda,” Isakku menguap. Kuambil sepeda yang lebih tinggi dari tubuhku. Kulihat Ayah, aku yakin. Rodanya berputar 2 kali, 5 kali, 10 kali. Ayah lihat, kakiku tidak menyentuh tanah. Aku pandai, Ayah, Ayah, aku bisa. Ayah.... aku jatuh lagi lalu Ayah mengobati lukaku, memelukku.

“Li sudah hampir bisa. Nanti kalau udah bisa, Li bonceng Ibu ya.”

Aku bangun lagi, kukayuh pedalnya  pelan....pelan....pelan. Perih di lututku memelas minta perhatian.

“Ayo, Li jangan takut, Ayah pegang dari belakang,”

“Bisa, Bisa. Aku sudah bisa Yah,” Tapi sampai aku besar, Ayah tak pernah melepaskan pegangannya.

“Ayah takut Ibu dan Li jatuh.”

Tidak ada lelaki sehebat Ayah. Ia selalu datang ke kamarku, saat rimbun bambu jepang di halaman samping berdesir dan malam menghadiahiku suara-suara aneh. Belum lagi angin yang merambat mulai dari tepi jendela, dinding, lantai, kemana saja. Tempat yang dianggapnya membutuhkan kedamaian.

“Bu!” Aku memanggil Ibu, terdenggar suara langkah.

“Sstt...., Ayah disini,”

“Li takut Yah.”

“Itu cuma suara daun dan jangkrik.”

“Li tidur lagi ya, Ibu juga sedang tidur. Kasihan, ibu capek.” Aku mengangguk di lengan Ayah, aku selalu bisa membaringkan mimpi-mimpiku. Hangat. Ketika aku bangun, mimpi mengomel pelan. Ia benci pada siang, sama seperti aku yang begitu membenci perpisahan.

“Lihat,” waktu itu senja turun, aku dan ayah duduk berdampingan di atas bukit kecil belakang rumah.

“Li tau itu apa?” Ayah menunjuk lingkaran kusam yang terlukis di langit. Sementara jauh di sisi lain, pipi langit menawarkan semburat oranye, warna yang selalu hidup.

“Itu namanya bintang sore,” lanjut Ayah sembari menarikku ke pangkuannya.

“Tapi Yah, Ayah bilang bintang keluarnya malam-malam,”

Ayah tersenyum menatapku.

“Cuma sebutannya, sebenarnya itu bukan bintang. Tapi planet venus.” Jawab Ayah mengobati rasa penasaranku. Aku makin tidak mengerti, aku lebih suka bintang yang keluar malam hari, dan Ayah selalu bisa mengenali bintang-bintang itu. Ursa mayor, cerus, orion, satu hal yang sampai saat ini masih belum bisa kulakukan. Tapi, aku sudah mengerti tentang bintang sore, planet Venus. Planet yang paling dekat dengan bumi sering terlihat sore atau pagi hari, bila atsmosfer sedang berbaik hati. Orang-orang lebih sering menyebutnya bintang kejora.

“Itu planet Venus.” Kataku pada Ibu dan Za, dan Za langsung bangun dari duduknya, berdiri di hadapanku. Aku tak suka dengan tatapannya.

Malamnya ibu menemaniku tidur, tanpa dongeng. malam-malam bersama Ibu adalah belajar menghafal doa pengantar tidur. Tapi malam ini Ibu tidak mengajakku berdoa.

“Li, Ibu mau tanya. Li tau dari mana planet Venus?”

“Ayah.” Jawabku cepat. Ibu membelakangiku, kulihat lagi, Ibu mengucek-ucek matanya. Kata Ibu, bantal di tempat tidurku banyak debu. Kubaca doa sendiri, tiga kali. Untuk ibu juga, mungkin tadi ibu lupa.

Awan alto cumulus hadir pagi ini. Putih, kecil dan bergumpal, awan mimpi.  Aku berjalan mengikuti Ayah. Gerombolan embun duduk manja di pucuk – pucuk daun, berbinar. Sok anggun. Padahal tersenggol belalang sedikit saja, satu, dua, bahkan semua dari mereka akan meluncur bebas di sela-sela rumput.

“Jangan dipetik Li!” Kata Ayah menoleh ke belakang. Ketika langkahku terhenti dan tanganku bersiap–siap menyambar daun keladi.

“Nanti gatal.” Lanjutnya sambil berjalan.

Setengah berlari, kukejar Ayah. Aku senang ke ladang. Duduk di pematang, meniup terompet yang dibuat Ayah dari daun kelapa, kadang juga dari batang padi. Panggil angin, kata Ayah. Aku akan meniup terompetku kuat-kuat, sampai pipiku seperti akan meletus. Angin datang, berjingkat. Aku senang, aku berhasil mengundangnya. Pemahaman yang indah. Sekarang aku baru tahu, angin bukan datang karena suara terompetku. Tapi angin selalu bergerak ke tempat yang tekanan udaranya lebih rendah. Sementara itu, tangan Ayah, sekali–sekali menggoyang tali yang sudah dipasang kaleng susu bekas. Brurrr....., burung pipit menjauh. Cuma sebentar, sambil menunggu Ayah lengah, mereka main alip berondok di pohon  mangga tok Gelang, pemilik ladang sebelah

Sekolah. Ibu memakaikan aku baju putih dan rok merah. Kata Ibu–ibu lain di sekolah, aku hebat. Ibu tidak pernah menungguiku.

“Ibu harus ke ladang, Li berani kan sendiri?” Bujuk Ibu sambil memakaikan dasiku. Aku sudah tau Bu, Aku tak pernah takut, selagi Ayah disampingku. Aku suka sekolah. Kata Pak guru, aku pintar seperti Ayah.

“Yah, teman–teman Li jahat, orang itu bilang Li anak yatim.”

Wajah Ayah berubah, aku tidak pernah melihat Ayah begitu. Mirip wajah Ibu, kalau aku berbicara tentang Ayah.

“Nggak, temen–teman Li nggak jahat. Li nggak usah marah, yang penting Li rajin sekolah, jadi juara.” Jawab Ayah membujukku, waktu itu aku mogok menulis angka satu sampai sepuluh. Aku tidak tahu apa itu anak yatim. Za bilang, anak yang tidak punya Ayah. Tapi, aku punya Ayah. Ini rahasia kami berdua, Ibu, Za, dan Syi pun tidak tahu. Aku juara satu, Ayah membuatkanku mobil-mobilan dari batang pisang.

Hari ini semua sibuk. Bang Syi duduk, di atas bantal besar yang cantik.  Pakai baju teluk belanga. Bang Syi menangis, waktu Ibu siran pakai beras dan bertih. Ibu juga menangis. Ibu memang sering menangis, tapi Ibu bukan cengeng. Kata Ayah: Ibu harus menangis, biar Ibu bisa tersenyum di depan kami.

Kalau bang Syi, hebat. Aku ingat dia menangis cuma tiga kali. Waktu minta mobil mainan yang besar, Ibu sakit, dan sekarang. Bang Syi tidak boleh cenggeng.dia ingin menjaga aku, Ibu, dan Za.

* * *

Usia tanpa berencana, membuat aku dan Ayah jarang bercerita. Aku jadi bunga, pura-pura kokoh. Aku harus sekuat Ibu. Tanggis bagiku ruang-ruang yang selalu dipenuhi kekalahan.

Ayahku adalah lelaki hebat. Tempat kesah tertumpah tanpa sisa. Lalu asa menyisip pada lempengan doa, yang ia bacakan untukku, Ibu, Za, dan Syi. Ia masih datang, tapi tak bisa lama. Ia selalu hadir, setiap aku tak mampu berkata, aku kuat. Dan ia akan memelukku ”Li, anak Ayah yang kuat.”

Ia adalah telaga. Disana rindu dan cinta bermuara. Lewat figura-figura tua ia bercerita, pada Ibu, Za, dan Syi. Tentang setiap petang yang selalu mereka kayuh dengan tawa, mengelilingi jalan-jalan kampung, Syi selalu merasa bangga duduk di atas tangki kereta. Ia merasa, ia adalah garuda. Ada juga fajar merekah, mereka tertidur di pangkuan Ayah, dan Ayah akan terus menyiram doa.

Aku memang tak punya semua cerita tentang itu. Karna Ayah adalah lelaki yang menyelinap ke rahim Ibu. Mengajakku berbicara dengan bahasa yang tak kumengerti, dan karena keterbatasanku. Aku tak mampu mengenalinya. Tapi, aku lebih beruntung dari Ibu, Za, dan Syi. Karan aku punya cerita tentang pelagi, planet venus, bintang, gerimis. Aku punya lebih banyak lagi

Melihat Ayah seperti memahami pelangi. Merah, kuning, hujau, biru dan lembayung. Itu warna yang diciptakan ibu, Za, dan Syi, agar aku bisa mengenal Ayah. Mereka tidak pernah tahu, warna pelangi ada yang tak mampu mereka lihat. Inframerah dan ultraviolet. Itulah warna Ayah ”bagiku”.

”Aku akan menikah, Yah.biar aku bisa memandangmu, bersamanya.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun