Nabi Ibrahim adalah figur teladan. Sosok yang tak hanya berkata, tapi juga memberi contoh nyata. Guru pun dituntut demikian. Tak cukup hanya mengajarkan nilai kejujuran, tapi juga harus jujur. Tak cukup bicara tentang disiplin, tapi juga harus datang tepat waktu. Karena siswa bukan hanya mendengar, mereka meniru.
Keteladanan itu mungkin tidak langsung disadari siswa. Tapi percayalah, suatu hari mereka akan mengenang, “Bu guru saya dulu selalu sabar,” atau “Pak guru saya tidak pernah marah-marah meski kami bandel.” Dan kenangan semacam itu bisa jadi lebih membekas dibanding isi pelajaran itu sendiri.
Refleksi di Hari Raya
Idul Adha bukan hanya hari libur, apalagi cuma momen makan daging bersama. Bagi guru, ini adalah momen refleksi. Sejenak menepi dari rutinitas, lalu bertanya dalam hati: sudah seberapa besar pengorbananku? Sudah seikhlas apa aku mendidik? Sudah pantaskah aku menjadi teladan?
Tentu kita bukan nabi. Kita punya batas, punya lelah, punya kecewa. Tapi jika kita terus menjaga niat dan semangat, insya Allah langkah kita sebagai guru akan selalu bermakna. Karena sesungguhnya, guru itu juga pejuang. Pejuang tanpa senjata, tapi dengan hati yang besar.
Dan seperti Ibrahim yang tak ragu menyerahkan yang dicintainya karena cinta yang lebih besar, guru pun tak pernah ragu menyerahkan waktunya, tenaganya, bahkan kadang egonya—karena cinta kepada masa depan anak-anak Indonesia
Selamat hari raya Idul Adha 1446 Hijriyah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI