Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar dari Nabi Ibrahim, Mengajar dengan Hati

6 Juni 2025   09:08 Diperbarui: 6 Juni 2025   09:08 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen SMKN 1 Kelapa Kampit 

Hari Raya Idul Adha selalu hadir dengan kehangatan yang khas. Bukan hanya tentang aroma kambing panggang dan suara takbir yang menggema, tapi juga tentang perenungan mendalam atas nilai-nilai pengorbanan, keikhlasan, dan cinta yang tulus. Di balik gemuruh suasana lebaran kurban, sesungguhnya ada banyak hikmah yang bisa kita petik—terutama bagi kita yang berprofesi sebagai guru.

Ya, guru. Profesi yang kadang dipandang biasa saja, tapi sejatinya menyimpan makna luar biasa. Seperti kisah Nabi Ibrahim yang menjadi inspirasi utama Idul Adha, kehidupan seorang guru pun penuh dengan episode-episode pengorbanan, ketaatan, dan harapan yang sering kali tak terucapkan.

Tentang Pengorbanan dan Dedikasi

Mari kita mulai dari hal yang paling jelas: pengorbanan. Siapa yang bisa menandingi keteguhan hati Nabi Ibrahim AS saat diperintahkan mengorbankan anaknya sendiri, Ismail? Sebuah ujian luar biasa yang butuh keimanan dan keberanian yang tak biasa.

Nah, meskipun tentu tak selevel dengan ujian itu, guru juga dituntut untuk berkorban dalam bentuk yang berbeda. Mengorbankan waktu istirahat, mengurangi waktu bersama keluarga, bahkan merelakan energi dan pikiran untuk memikirkan nasib murid-muridnya yang mungkin bahkan tak sadar sedang diperjuangkan. Pernah ada guru yang pulang malam karena harus menyiapkan bahan ajar esok hari? Atau yang tetap mengajar meski sedang tidak enak badan? Pasti banyak.

Tapi di situlah letak istimewanya. Pengorbanan seorang guru bukan soal paksaan, melainkan pilihan. Pilihan untuk tetap hadir, tetap peduli, dan tetap berharap bahwa semua jerih payah itu akan membawa perubahan bagi anak-anak bangsa.

Keikhlasan dalam Beramal

Kurban adalah simbol keikhlasan tertinggi. Memberikan sesuatu yang kita cintai tanpa berharap kembali, kecuali dari Tuhan. Guru juga sejatinya begitu. Tak semua guru akan mendapatkan ucapan terima kasih dari muridnya. Tak semua akan diundang saat muridnya sukses kelak. Bahkan tak sedikit yang jasanya nyaris dilupakan.

Tapi guru yang ikhlas tak akan berhenti memberi. Karena bagi mereka, mendidik bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan jiwa. Ada kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan saat melihat wajah siswa yang tadinya tak paham, kini mengangguk penuh pengertian. Ada rasa haru saat anak yang dulu bandel, kini menyapa dengan sopan di pinggir jalan. Itulah pahala yang tak tertulis di slip gaji, tapi tercetak di hati.

Ketaatan dan Kepercayaan pada Proses

Nabi Ibrahim tak banyak bertanya saat perintah datang. Ia taat. Ia percaya bahwa di balik perintah yang berat, ada rencana besar dari Sang Pencipta. Sikap seperti ini juga penting bagi guru. Mengikuti nilai-nilai kebenaran, meski kadang bertabrakan dengan arus zaman yang makin cepat dan serba instan.

Seorang guru harus percaya pada proses. Bahwa mendidik itu butuh waktu. Butuh pendekatan. Butuh usaha yang konsisten. Tidak semua siswa langsung paham. Tidak semua langsung berubah. Tapi guru tidak boleh menyerah. Percaya bahwa setiap benih kebaikan yang ditanam suatu hari akan tumbuh, meski tak bisa kita saksikan sendiri panennya.

Berbagi dan Empati: Nilai yang Tak Tertulis di RPP

Salah satu tradisi paling membekas di Idul Adha adalah pembagian daging kurban. Di sana kita belajar bahwa keberkahan itu tumbuh saat kita mau berbagi. Guru pun demikian. Berbagi ilmu, berbagi perhatian, dan yang tak kalah penting: berbagi empati.

Karena tidak semua siswa datang dari rumah yang hangat. Ada yang berangkat sekolah tanpa sarapan. Ada yang membawa beban keluarga yang berat di pundaknya. Di sinilah guru perlu hadir, bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga sebagai pendengar. Bukan hanya memeriksa tugas, tapi juga memperhatikan tatapan mata siswa yang mungkin sedang menyimpan luka.

Guru yang punya empati akan tahu kapan harus tegas, kapan harus mendekat. Ia bisa membedakan mana siswa yang malas, mana yang sebenarnya sedang berjuang.

Kesabaran dan Ketabahan: Modal Sejati Pendidikan

Menyembelih hewan kurban bukan soal detik saat pisaunya menyentuh kulit. Tapi ada proses panjang: memilih hewan terbaik, merawat, menyiapkan tempat, dan sebagainya. Semua butuh kesabaran.

Begitu juga guru. Tak semua rencana pelajaran berjalan mulus. Kadang kelas ribut, LCD rusak, murid lupa bawa buku, atau justru datang kabar kalau orang tua siswa sedang kesusahan. Tapi guru tetap berdiri. Tetap mengajar. Tetap mencoba tersenyum.

Kesabaran adalah modal utama seorang guru. Karena pendidikan bukan proses instan seperti mie seduh. Butuh waktu bertahun-tahun untuk melihat hasilnya. Dan selama itu, guru dituntut untuk tetap tabah.

Keteladanan: Mengajar Lewat Perilaku

Nabi Ibrahim adalah figur teladan. Sosok yang tak hanya berkata, tapi juga memberi contoh nyata. Guru pun dituntut demikian. Tak cukup hanya mengajarkan nilai kejujuran, tapi juga harus jujur. Tak cukup bicara tentang disiplin, tapi juga harus datang tepat waktu. Karena siswa bukan hanya mendengar, mereka meniru.

Keteladanan itu mungkin tidak langsung disadari siswa. Tapi percayalah, suatu hari mereka akan mengenang, “Bu guru saya dulu selalu sabar,” atau “Pak guru saya tidak pernah marah-marah meski kami bandel.” Dan kenangan semacam itu bisa jadi lebih membekas dibanding isi pelajaran itu sendiri.

Refleksi di Hari Raya

Idul Adha bukan hanya hari libur, apalagi cuma momen makan daging bersama. Bagi guru, ini adalah momen refleksi. Sejenak menepi dari rutinitas, lalu bertanya dalam hati: sudah seberapa besar pengorbananku? Sudah seikhlas apa aku mendidik? Sudah pantaskah aku menjadi teladan?

Tentu kita bukan nabi. Kita punya batas, punya lelah, punya kecewa. Tapi jika kita terus menjaga niat dan semangat, insya Allah langkah kita sebagai guru akan selalu bermakna. Karena sesungguhnya, guru itu juga pejuang. Pejuang tanpa senjata, tapi dengan hati yang besar.

Dan seperti Ibrahim yang tak ragu menyerahkan yang dicintainya karena cinta yang lebih besar, guru pun tak pernah ragu menyerahkan waktunya, tenaganya, bahkan kadang egonya—karena cinta kepada masa depan anak-anak Indonesia

Selamat hari raya Idul Adha 1446 Hijriyah

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun