Beberapa waktu lalu, kita semua menyimak pernyataan Pak Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, soal pentingnya deep learning. Jujur, saya tersenyum sendiri. Bukan karena istilahnya terdengar keren atau canggih, tapi karena apa yang beliau sampaikan itu benar-benar menyentuh kenyataan sehari-hari yang saya hadapi sebagai kepala sekolah di SMK Negeri 1 Kelapa Kampit—sekolah kejuruan yang terletak di ujung timur Pulau Belitung, dengan empat jurusan: Akuntansi Keuangan Lembaga, Desain Pemodelan dan Informasi Bangunan, Teknik Sepeda Motor, dan Teknik Komputer dan Jaringan.
Di sekolah kami, seperti banyak sekolah lain di Indonesia, kami seringkali berhadapan dengan tantangan yang tak ringan: bagaimana memastikan siswa benar-benar paham apa yang mereka pelajari, bukan hanya sekadar hafal rumus atau lulus ujian. Maka, ketika Pak Menteri bicara tentang deep learning alias pembelajaran mendalam, saya merasa seperti mendapat suntikan semangat baru.
Mari kita akui: selama ini pembelajaran kita cenderung terjebak dalam yang disebut sebagai surface learning, atau pembelajaran dangkal. Siswa belajar karena ada ujian. Hafal rumus karena takut nilai jelek. Paham konsep? Kadang iya, kadang tidak. Begitu ujian selesai, ilmunya ikut menguap. Kalau ditanya dua minggu kemudian, bisa-bisa jawabannya sudah beda.
Di SMK, tantangan ini terasa lebih nyata. Misalnya di jurusan Teknik Sepeda Motor, siswa bisa saja tahu langkah-langkah membongkar mesin, tapi kalau tidak paham kenapa langkah itu penting, atau apa dampaknya jika salah urutan, maka itu masih sebatas keterampilan hafalan. Belum sampai ke tahap memahami dan bisa menganalisis persoalan di lapangan.
Inilah mengapa deep learning penting. Bukan hanya untuk anak-anak yang ingin jadi akademisi, tapi juga untuk calon teknisi, desainer bangunan, akuntan muda, atau teknolog jaringan yang akan terjun langsung ke dunia kerja.
Bukan Kurikulum Baru, Tapi Cara Pandang Baru
Pak Mu’ti juga menekankan bahwa deep learning ini bukan kurikulum baru yang menggantikan Kurikulum Merdeka. Ini bukan ganti baju. Bukan pula metode belajar baru yang wajib dihapalkan. Deep learning itu pendekatan. Cara pandang kita terhadap pembelajaran.
Jadi, jangan panik dulu, para guru. Kita tidak sedang diminta mengubah semua RPP. Tapi kita diajak merenung: apakah selama ini kita benar-benar membantu siswa memahami, atau hanya mengejar target selesai materi?
Deep learning menekankan pemahaman mendalam dan penerapan pengetahuan secara luas. Anak-anak didorong bukan sekadar tahu apa, tapi juga mengapa dan bagaimana. Bukan cuma bisa jawab soal, tapi bisa berpikir dan berbuat.
Tiga Pilar: Mindful, Meaningful, Joyful
Yang saya suka dari penjelasan Pak Menteri adalah bagaimana deep learning ini dibangun di atas tiga pilar: mindful, meaningful, dan joyful.
Mindful berarti siswa belajar dengan kesadaran penuh. Bukan sekadar ikut arus, tapi tahu apa yang sedang dipelajari dan untuk apa. Misalnya, siswa jurusan Akuntansi Keuangan Lembaga belajar membuat laporan keuangan bukan sekadar karena itu materi ujian, tapi karena itu akan jadi keterampilan yang menyelamatkan banyak UMKM nanti.
Meaningful berarti pembelajaran harus bermakna. Bukan sekadar latihan soal, tapi punya konteks dan kaitan dengan dunia nyata. Di jurusan DPIB misalnya, anak-anak bisa belajar menggambar denah rumah sambil memahami bagaimana kebutuhan rumah ramah lingkungan di daerah tropis seperti Belitung.
Dan tentu saja, joyful. Belajar itu harus menyenangkan. Kita semua tahu, kalau anak-anak senang belajar, mereka akan lebih mudah menyerap dan menyimpan informasi. Di jurusan TKJ misalnya, suasana belajar bisa jadi menyenangkan ketika siswa diberi ruang untuk eksplorasi jaringan komputer melalui proyek kecil, bukan hanya lewat teori di papan tulis.
Membangun Kompetensi, Bukan Sekadar Nilai
Satu hal lagi yang penting: deep learning bertujuan membentuk pelajar yang mandiri, inovatif, dan punya daya saing global. Bukan hanya lulus UN atau SNBT, tapi juga bisa beradaptasi dan berkontribusi di mana pun mereka berada.
Di SMKN 1 Kelapa Kampit, kami ingin lulusan kami bisa kerja, bisa lanjut kuliah, dan bisa jadi wirausahawan. Tapi untuk itu, mereka harus bisa berpikir kritis, menyelesaikan masalah, bekerja dalam tim, dan terus belajar sepanjang hayat. Semua ini hanya bisa tumbuh kalau pembelajaran yang mereka alami sejak sekolah benar-benar menyentuh kedalaman berpikir.
Bukan Hal Instan, Tapi Bisa Dimulai
Saya tidak akan bilang transisi ke deep learning ini mudah. Tidak ada perubahan besar yang bisa terjadi dalam semalam. Tapi kita bisa mulai dari hal-hal kecil.
Misalnya, alih-alih memberi soal pilihan ganda, guru bisa mulai mendorong siswa membuat proyek sederhana. Di jurusan TSM, siswa bisa diminta menganalisis penyebab motor mogok dan menyampaikan solusi lewat presentasi. Di jurusan AKL, siswa bisa membuat simulasi laporan keuangan dari usaha fiktif mereka sendiri. Di DPIB, siswa bisa mendesain ulang ruang kelas mereka berdasarkan prinsip ergonomi. Dan di TKJ, mereka bisa membuat simulasi jaringan sekolah.
Pelan-pelan, suasana belajar akan berubah. Siswa tak lagi belajar karena takut, tapi karena ingin tahu. Guru tidak lagi jadi satu-satunya sumber informasi, tapi fasilitator yang membimbing diskusi dan eksplorasi.
Harapan dari Pinggiran
Sebagai kepala sekolah di daerah, saya percaya perubahan bisa dimulai dari mana saja, bahkan dari sekolah kecil di pinggiran. Selama ada niat dan komitmen, kita bisa mengubah pembelajaran menjadi pengalaman yang lebih bermakna.
Deep learning bukan soal mengikuti tren. Ini tentang memberikan yang terbaik bagi generasi mendatang. Generasi yang kelak harus hidup di dunia yang lebih kompleks dan tak terduga. Maka, bekal terbaik bukanlah tumpukan hafalan, tapi kemampuan berpikir, merasa, dan bertindak dengan bijak.
Dan semua itu, bisa kita mulai dari ruang kelas kita sendiri. Hari ini juga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI