Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Guru yang masih belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Makan Bedulang: Tradisi Kuliner Pemersatu di Belitung

15 Mei 2024   17:05 Diperbarui: 15 Mei 2024   17:10 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era yang semakin didominasi oleh paham individualistis, budaya makan bedulang menjadi pengingat bahwa kebersamaan dan menghargai perbedaan seharusnya menjadi landasan utama dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi unik dari Pulau Belitung ini mengajarkan nilai-nilai persatuan yang sayangnya mulai terkikis dalam tatanan sosial modern.

Bedulang berasal dari kata dulang yang berarti nampan besar tempat menghidangkan makanan. Jika biasanya makanan disajikan dalam piring masing-masing, dalam bedulang seluruh menu diletakkan dalam satu wadah besar untuk kemudian dibagi bersama. Filosofi di balik tradisi ini adalah semangat kebersamaan dan saling berbagi, tak peduli dari suku atau golongan mana setiap orang berasal.

Prosesi makan bedulang dimulai dengan menghidangkan 4 hingga 6 macam lauk pauk khas Belitung, dengan menu utama berupa gangan atau ikan berkuah kuning gurih. Namun uniknya, semua sajian ini tertutup oleh tudung saji. Sesuai tradisi, yang berhak membuka tudung saji adalah orang yang paling dituakan atau disegani. Sementara itu, tugas membagikan piring kepada peserta makan jatuh ke tangan yang paling muda. Ritual ini mengajarkan penghormatan kepada orang yang lebih tua sekaligus sikap rendah hati bagi generasi muda.

Begitu tudung saji dibuka, semerbak aroma rempah-rempah khas masakan Belitung menguar, menggugah selera setiap orang yang hadir. Namun mereka tidak langsung menyantap hidangan itu sendiri-sendiri, melainkan menunggu hingga semua piring terbagi rata. Inilah puncak kebersamaan dari tradisi bedulang, ketika semua orang menyantap makanan yang sama dari satu wadah besar tanpa membrane atausilsilah. Semua suku, usia, dan status sosial lebur menyatu dalam kehangatan bedulang.

Meski terdengar sederhana, makna di balik bedulang sangatlah dalam. Berkumpulnya berbagai latar belakang dalam satu hidangan adalah cerminan bagaimana nenek moyang kita dulu menghidupi bumi Nusantara. Dengan perbedaan yang ada, mereka mampu hidup berdampingan dan berbagi keberlimpahan alam. Mereka sadari, manusia tak akan mampu bertahan hidup seorang diri. Eksistensi kita hanya akan bermakna jika menjalaninya dalam kebersamaan dan saling menguatkan satu sama lain.


Bedulang tak hanya sekedar momen makan bersama, tetapi menjadi wadah pemersatu seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. Dalam setiap acara adat, syukuran, perkawinan, kelahiran, atau sunatanpun, prosesi ini menjadi kewajiban yang tak terpisahkan. Bayangkan betapa kuatnya tali persaudaraan terjalin di sana, ketika seluruh tetangga dan handai taulan ikut berbaurbersamasama menyantap satu sajian.

Tenggelamnya budaya bedulang disinyalir mulai terjadi akibat gencarnya pengaruh modernisasi. Acara-acara bernuansa adat semakin jarang ditemui dan hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja. Belum lagi stigma negatif seperti kotor, tidak higienis, atau ketinggalan zaman juga sering menghantui tradisi makan satu wadah ini. Ironis memang, padahal bagi masyarakat Belitung dahulu bedulang adalah lambang kebersamaan yang begitu dihargai.

Sudah sepatutnya kita menghidupkan kembali filosofi persatuan yang terkandung dalam bedulang. Di era yang kian mengedepankan individualisme, tradisi ini mengingatkan untuk tidak melupakan sejarah panjang persatuan di bumi Nusantara. Mari rajut kembali tali persaudaraan yang telah dirintis para leluhur melalui momen-momen sederhana seperti makan bersama dalam satu nampan besar kehidupan.

Jika dahulu bedulang hanya dilakukan pada acara-acara tertentu, tak ada salahnya kita mulai menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dimulai dari hal sekecil mengajak tetangga yang berbeda sukuuntuk makan bersama. Berbagi makanan dari satu wadah bisa menjadi langkah sederhana untuk saling menghargai dan menghapus sekat-sekat primordial yang ada. Mumpung masih ada masyarakat yang memegang tradisi ini, sebaiknya diwariskan kepada generasi muda.

Makanan memang bukan sekedar untuk mengenyangkan perut,tetapi bisa menjadi media pemersatu yang selama ini terlupakan. Ketika kita terbiasa makan bersama-sama, rasa solidaritas dan persaudaraan akan menguat dengan sendirinya. Sebab melalui momen sederhana itulah, kita belajar untuk saling menghargai satu sama lain dan menghapuskan prasangka negatif terhadap perbedaan yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun