Namun, jalan kepemimpinan perempuan tidak selalu mulus. Mereka sering kali menghadapi standar ganda dan bias gender yang lebih tinggi. Sebuah kesalahan kecil bisa dengan cepat dibesar-besarkan dan dikaitkan dengan emosionalitas atau ketidakmampuan karena ia perempuan.
“Pemimpin perempuan berada di bawah mikroskop. Setiap ekspresi, cara berpakaian, bahkan nada bicara, dikritik lebih keras daripada rekan laki-laki mereka. Jika tegas, dibilang keras kepala dan tidak feminin. Jika lembut, dibilang tidak tegas dan tidak memimpin,” papar Shinta G. dari LSM ‘Suara Perempuan Politik’.
Tantangan lain adalah dalam hal membangun koalisi politik. Di ruang-ruang yang masih didominasi laki-laki, pemimpin perempuan harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan dari para tokoh politik tradisional.
Melampaui Gender, Kembali ke Kompetensi
Pada akhirnya, meski terdapat perbedaan gaya dan pendekatan, esensi dari kepemimpinan yang baik tetap pada kompetensi, integritas, dan visi yang jelas. Kepemimpinan perempuan telah memperkaya khazanah tata kelola pemerintahan dengan membawa perspektif baru yang inklusif dan detail-oriented.
Keberhasilan seorang kepala daerah, terlepas dari gendernya, akan dinilai dari sejauh mana mereka mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, membuka lapangan kerja, dan memberikan pelayanan publik yang terbaik. Masyarakat tidak lagi membutuhkan pemimpin berdasarkan jenis kelamin, tetapi pemimpin yang memiliki hati, kemampuan, dan komitmen untuk membangun daerahnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI