Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ustadz Felix dan Perihal Demokrasi yang Tersandera

1 Mei 2017   20:19 Diperbarui: 2 Mei 2017   09:13 3074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejauh ini, praktik demokrasi di Indonesia dalam hal kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat secara statistik memang mengalami penurunan berdasarkan data yang diperoleh dari BPS tentang Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada tahun 2016. Indikator kebebasan sipil yang mencakup didalamnya kebebasan berpendapat dan berkumpul justru menurun akibat adanya upaya represif atau ancaman baik dari masyarakat atau aparat yang menghambat kebebasan berpendapat. Umumnya, demokrasi malah tersandera oleh praktik-praktik represif aparat yang menghalang-halangi atau bahkan “membubarkan” banyak kegiatan masyarakat yang seharusnya dilihat sebagai bagian dari kebebasan berdemokrasi yang harus dijaga dan dihargai. Hal ini, saya kira, tepat rasanya menilai reaksi aparat yang tampak represif membubarkan kegiatan pengajian yang dilakukan Ustadz Felix Siauw di salah satu hotel di Malang, Jawa Timur.

Saya tidak begitu paham apakah sedemikian bahaya ancaman yang muncul dari sebuah pengajian keagamaan yang dilakukan sekelompok masyarakat hingga aparat berinisiatif untuk membubarkannya? Mungkin mereka sedang menyusun strategi untuk aksi terorisme yang sungguh membahayakan atau akan berbuat makar terhadap pemerintahan yang sah? sejauh ini belum ada klarifikasi dari pihak aparat. Yang ada justru adalah klarifikasi dari sang Ustadz yang dilakukannya di media sosial yang kemudian ramai menjadi perbincangan para netizen bahwa telah terjadi aksi represif dari pihak aparat karena membubarkan pengajian yang dipimpin oleh ustadz yang juga seorang muallaf ini. Bagi saya, upaya apapun yang menghalang-halangi masyarakat dalam mengeluarkan pendapatnya di muka umum, terlebih ini dalam sebuah kajian keagamaan adalah kontraproduktif dengan iklim demokratisasi.

Kita sejauh ini sudah berhasil menata sistem demokrasi yang lahir justru akibat sikap aparatur yang represif dari rezim terdahulu sehingga masyarakat merasa muak dan beramai-ramai sepakat menggulingkan rezim untuk membentuk kekuatan reformasi. Banyak pihak yang mengklaim bahwa reformasi yang lahir 19 tahun yang lalu justru akibat tekanan yang terlalu berat bagi kebebasan politik masyarakat atau sikap aparat yang represif dan pemanjaan yang berlebih terhadap satu kelompok tetapi tidak untuk kelompok tertentu yang pro-kekuasaan. Sikap yang sama sekali tidak adil ini kemudian melahirkan gerakan reformis yang digulirkan oleh seluruh kekuatan elemen bangsa yang pada akhirnya sukses menggulingkan rezim yang anti-demokrasi. Saya kira, tidak mungkin kemudian harus muncul lagi “benih-benih” otoritarianisme yang ditunjukkan oleh “pemihakan” kekuasaan, aparatur yang represif dan arogan atau apapun sikap yang pada akhirnya menyandera kehidupan demokrasi di negeri ini.

Sejak reformasi hingga saat ini, bangsa ini sudah mulai terbuka, sadar dan paham akan hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara sehingga upaya-upaya apapun yang akan mengganggu jalannya demokrasi sudah tentu akan dilawan oleh masyarakat. Demokrasi jelas menolak absolutisme dan juga pemaksaan kehendak dari pihak-pihak yang berseberangan secara ideologis, sehingga demokrasi semestinya dapat melihat secara lebih jauh bahwa perbedaan apapun merupakan aset nasional yang harus sama-sama dipertahankan. Oleh karenanya akan sangat mengherankan jika kebebasan berekspresi dan mengutarakan pendapat justru dihalang-halangi, diintervensi atau dilarang. Padahal, kebebasan yang bertanggungjawab dalam praktik demokrasi memiliki implikasi hukum yang jika ada pelanggaran mudah saja untuk memprosesnya secara hukum tanpa melalui upaya represif yang berlebihan dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Kejadian yang menimpa Ustadz Felix saya kira harus menjadi pembelajaran yang penting dimana prinsip-prinsip demokrasi dalam hal kebebasan berpendapat sudah seharusnya dapat dijaga dan dipertahankan bersama jika tidak ingin menimbulkan friksi dalam masyarakat yang semakin tajam. Saat ini yang terjadi adalah seakan-akan, penguasa sedang mempraktikkan Islamopobia yang justru akan menimbulkan resistensi dari sekelompok masyarakat muslim yang semakin besar. Sikap curiga yang berlebihan yang ditunjukkan aparat terhadap kelompok agama tertentu justru menurut saya akan membangkitkan benih-benih radikalisme yang padahal seharusnya sedang ditekan penyebarannya sejauh ini.

Radikalisme dalam beberapa hal justru bisa tumbuh dan berkembang akibat sikap represif penguasa yang terlampau berlebihan kepada kelompok tertentu di satu sisi, tetapi disisi lain pihak penguasa sengaja memanjakan kelompok lainnya yang dianggap justru memiliki kesamaan ideologis. Upaya yang dilakukan pihak kepolisian melawan ideologi radikal dengan ideologi lain yang dapat menandingi merupakan gerakan soft power yang justru mampu menangkal pertumbuhan ideologi radikal. Bukankah melawan radikalisme dengan sinkretisme keagamaan yang pernah diajukan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dapat diterima oleh berbagai pihak? Dan menumbuhkembangkan ideologi tandingan yang berasal dari nilai-nilai dalam masyarakat, baik itu tradisi keagamaan, kebhinekaan atau keragaman serta nilai-nilai luhur yang terangkum dalam Pancasila akan lebih mudah menangkal gerakan radikalisme daripada sekedar melakukan tekanan yang represif terhadap masyarakat yang berbeda ideologinya.

Saya kira, terbelahnya masyarakat belakangan ini akibat isu-isu keagamaan dan politik yang kurang kondusif seharusnya dapat diredam dengan berbagai sikap aparatur yang lebih adil dan tanpa memihak. Namun, jika adanya perbedaan pendapat atau ideologi dalam realitas masyarakat kemudian malah diberangus atau dipaksa untuk “disesuaikan” dengan keinginan penguasa malah semakin menjauh dari cara-cara demokratis. Hal yang paling penting dalam sebuah iklim demokrasi adalah kesadaran bersama akan sebuah aturan main (rule of game) dalam kehidupan berpolitik, termasuk kebebasan berpendapat dan berkumpul dalam sebuah masyarakat. Lagi pula, demokrasi selalu bercirikan penegakan hukum dalam mekanisme penyelesaian masalah-masalah sosial-politik, termasuk jika kebebasan perpendapat masyarakat justru melanggar “aturan main” berdemokrasi. Kesadaran semua pihak—masyarakat, aparat dan penguasa—merupakan prasyarat utama dalam membangun iklim demokrasi yang sehat dan tentunya tidak memihak.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun