Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puasa dan Ego Manusia

29 Mei 2016   13:57 Diperbarui: 29 Mei 2016   14:15 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Struktur dalam diri manusia merepresentasikan unsur jasmani, ruhani dan akal. Jasmani dalam keberadaannya, menempati dan terikat oleh ruang dan waktu. Oleh karena terikat ruang dan waktu, jasmani tidak abadi sehingga pasti rusak atau hancur. Berbeda halnya dengan ruhani, entitasnya bisa saja menyatu atau terpisah dengan jasmani, entah berada dimana, karena memang tidak terikat ruang dan waktu. 

Ruhani bersifat abadi, kekal walaupun tidak bisa dibuktikan secara empiris karena keterbatasan penalaran akal manusia. Adapun akal, merupakan entitas yang berada antara jasmani dan ruhani manusia yang secara psikis dapat menentukan bagaimana jasmani dan ruhani itu “hidup” dalam ruangnya tersendiri. Tanpa akal, jasmani atau ruhani bisa “mati” karena tidak dapat berfungsi secara baik. Seseorang yang dinyatakan “hilang akal” berarti secara otomatis jasmani dan ruhaninya tidak lagi berfungsi dengan baik. Dengan demikian, akal memiliki posisi yang tertinggi dalam struktur diri manusia karena akal pada akhirnya dapat menjalankan fungsi jasmani dan ruhani secara baik dan seimbang.

Ahli psikologi kejiwaan ternama, Sigmund Freud juga menyatakan bahwa struktur pribadi seseorang terbagi menjadi tiga: superego, ego dan id. Yang pertama memiliki kepekaan terhadap etika sosial sehingga menggerakan kesadaran seseorang untuk selalu berbuat baik agar dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya. Jiwa sosial dan rasa malu tumbuh dalam diri seseorang berdasarkan supergo-nya. Sebaliknya, id, merupakan kecenderungan manusia terhadap prinsip kenikmatan hidup (pleasure principle). Id tidak memiliki moralitas tetapi hanya memiliki kesenangan dan kepuasan psikis dan fisik. 

Karena sifat superego dan id merupakan sifat yang kontradikitif, dimana id selalu mendorong nafsu manusia ke arah kesenangan dan kepuasan serta selalu memberontak menginginkan kebebasan untuk memenuhi nafsunya, sedangkan superego selalu memberi nasehat bahwa jika id dibiarkan tanpa kendali maka manusia akan jatuh harga dirinya di depan masyarakat, maka ego muncul menjadi penengah dengan mengakomodasi dua dorongan yang saling berbenturan ini. Ego dengan demikian merupakan unsur ekuilibrium kemanusiaan, baik dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, alam sekitar dan kekuatan diluar entitas dirinya, yaitu Tuhan.

Manusia seringkali dianggap sebagai mikrokosmos dalam konteks alam semesta yang merupakan makrosmos. Manusia dengan demikian merupakan miniatur terkecil dari alam raya. Jika ingin melihat keindahan, keteraturan dan keseimbangan alam raya, lihatlah dalam diri manusia itu sendiri. Adapun ketidak teraturan, ketidak seimbangan atau kerusakan alam raya ini sangat berkorelasi dengan ketidak teraturan manusianya. Mikrokosmos dapat merusak makrokosmos melalui keseimbangan yang terganggu antara keduanya. Makrokosmos teleh memiliki hukum keseimbangan sendiri melalui keteraturan mahluk hidup yang ada didalamnya, begitupun manusia sebagai mikrokosmos memiliki hukum keseimbangan sendiri didalam dirinya, melalui pengatur dan penyeimbang, yaitu ego yang ada dalam dirinya.  

Sebagai entitas mikrokosmos, manusia selalu memiliki keunikan tersendiri yang tak ada habis-habisnya digali oleh berbagai disiplin ilmu. Manusia selalu dijadikan objek kajian oleh ilmu pengetahuan yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan tak jarang, lahir ilmu-ilmu pengetahuan baru yang membahas sisi lain dari manusia. Hampir seluruh disiplin ilmu pengetahuan yang ada pasti melibatkan manusia sebagai objeknya. Kemajuan-kemajuan mutakhir ilmu pengetahuan, baik teknologi, ekonomi, politik bahkan agama senantiasa menempatkan manusia sebagai objek vital penelitiannya. Sampai kepada bagian yang paling detil, struktur manusia dijadikan objek kajian dalam biomolekuler dan neurologi yang lebih jelas membongkar unsur-unsur terkecil yang ada dalam suatu entitas mikrokosmos yang bernama manusia.

Akal atau ego yang ada dalam diri manusia merupakan penyeimbang dalam memahami realitas kehidupan yang dihadapinya. Seseorang yang akan melakukan perbuatan buruk bisa saja tidak jadi dilakukan atas dasar pertimbangan akalnya. Akal dalam hal ini, dapat  mendiferensiasikan setiap prilaku manusia ke arah yang lebih baik dan menghindari setiap perbuatan buruk. 

Akal pada akhirnya berfungsi menyeimbangkan kehidupan dirinya sehingga secara tidak langsung melanggengkan sekaligus mikrokosmos dan makrokosmos yang berada di luar dirinya. Dalam kaitan dengan kepercayaan atau keimanan seseorang kepada Tuhan, juga sangat berhubungan dengan akal atau ego. Penghayatan keimanan seseorang kepada Tuhan sesungguhnya merupakan aktualisasi dirinya yang paling tinggi terhadap kebebasan dari dominasi ego-nya. Manusia berupaya keluar dari kondisi ego-nya sendiri ketika akal sudah tidak mempu merasionalisasikan dirinya, maka sikap iman dan percaya seseorang kepada Tuhan semakin menguat sehingga sifat-sifat kemanusiaan yang negatif tergantikan melalui peneladanan terhadap sifat-sifat ketuhanan yang positif.

Kehidupan manusia diukur dari dimensi waktu dalam 12 bulan, pasti terdapat pergulatan-pergulatan dalam memandang realitas kehidupan antara superego dan id. Kemudian ego-lah yang berhasil mendamaikan antara keduanya. Meskipun kenyataannya, terkadang ego seringkali dikalahkan dan tidak berfungsi akibat kerusakan sistem keseimbangan manusia dalam dirinya. Kecenderungan id  yang mengajak kepada perbuatan-perbuatan buruk, bisa keserakahan, kenikmatan pribadi, kesenangan duniawi atau menurunnya kadar moralitas seseorang ternyata dapat diseimbangkan melalui puasa selama satu bulan. Puasa bisa menjadi suplemen penguat bagi ego manusia yang mulai lemah. 

Jika puasa oleh seseorang diyakini sebagai bentuk peneladanan terhadap sifat-sifat ketuhanan, maka ego yang ada dalam diri manusia akan memperoleh asupan-asupan kebaikan yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Manusia ibarat sebuah mesin yang berjalan tanpa henti terus menerus, superego, ego dan id saling berinteraksi dalam dirinya belum lagi secara fisik metabolisme manusia secara terus menerus dipaksa makan dan minum demi kelangsungan hidupnya. 

Maka, puasa yang dilakukan selama satu bulan akan sangat berdampak pada pengelolaan ego, pengaturan metabolisme tubuh karena manusia pada hakikatnya sedang meneladani sifat-sifat ketuhanan. Puasa akan menjadi suplemen bagi ego manusia setiap tahunnya, sekaligus perbaikan dan peningkatan kualitas hidup seseorang yang berupaya meneladani sifat-sifat ketuhanan.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun