Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kudeta Gagal dan Lonceng Kematian Sekularisme di Turki

18 Juli 2016   16:21 Diperbarui: 18 Juli 2016   18:10 1373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Secara politik, Turki merupakan negara mayoritas muslim yang teralienasi dari wilayah Timur Tengah. Keberadaannya yang lebih dekat ke wilayah Eropa, menjadikan Turki sebagai cermin berpadunya dua peradaban sekaligus, Timur dan Barat. Sejak Musthafa Kemal Attaturk menjadi presiden pertama di Turki, negeri bekas kekhalifahan Usmaniyah ini secara radikal berubah menjadi negara sekular dengan serta merta memisahkan persoalan agama dan politik. Agama tidak lagi menjadi kewenangan negara tetapi diberikan seluas-luasnya secara pribadi kepada masyarakat. Sekularisme yang berkembang di Turki pada masa Attaturk sempat menjadikan Turki sebagai negara “Barat” yang ada di wilayah Timur Tengah dengan segala nuansa sekularisme tak ubahnya seperti suasana di negara-negara Eropa dan Amerika. Turki kemudian menjadi sebuah negara modern dibawah kepemimpinan Attaturk dan militer dijadikan sebagai “penjaga” terhadap ide sukularisme yang terus tumbuh di negara tersebut.

Militer diberikan kewenangan secara penuh oleh Attaturk untuk menjaga sekularisme negara dari segala macam ancaman baik dari dalam maupun luar negeri. Kewenangan militer yang begitu besar dalam sebuah negara ternyata memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi mereka untuk membuat “negara” dalam “negara”. Hal ini bisa dibuktikan oleh beberapa kali tindakan kudeta yang dilakukan militer dalam menggulingkan rezim-rezim di Turki. Tercatat sudah empat kali militer Turki melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah, terhitung sejak 1960 dimana Adnan Menderes memberlakukan darurat militer dan pimpinan negara diserahkan kepada Jenderal Cemal Gursel untuk membungkam para oposisi yang terus menghantui kekuasaan negara. Kemudian pada 1971 PM Suleyman Demiret mengundurkan diri akibat kondisi politik ekonomi di Turki terpuruk, sehingga militer yang dipimpin oleh Jenderal Mamdouh Tagmac membaca kekosongan kekuasaan dan membentuk pemerintahan baru. Kudeta berlanjut pada 1980, Jenderal Kenan Evran memaksa seniornya mundur, yaitu Presiden Fahri Karuturk, karena krisis berkepanjangan yang melanda Turki. Pada 1997, militer berkonflik dengan tokoh-tokoh agama di Turki sehingga melarang seluruh aktivitas keagamaan dan politik serta memberangus partai politik yang memiliki afiliasi dengan faksi Islam.

Baru-baru ini, militer Turki dibawah kepemimpinan Presiden terpilih Recep Tayyip Erdogan kembali melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Kudeta yang gagal pada Jumat malam kemarin dianggap sebagai bentuk kekecewaan faksi militer terhadap demokrasi yang sedang dibangun di Turki. Ide-ide sekularisme yang tumbuh di Turki dibawah pengawasan militer sedikit-demi sedikit mulai diberangus oleh Erdogan. Jika dahulu pemerintahan Turki membatasi bahkan melarang simbol-simbol keagamaan (Islam), maka dibawah kepemimpinan Erdogan, Turki bangkit sebagai negara Islam modern yang memungkinkan mengadopsi Islam sebagai entitas agama dan budaya sekaligus akomodatif terhadap budaya lain yang lebih modern. Turki dibawah Erdogan lebih mengangkat citra Islam sebagai sebuah peradaban yang lebih maju. Kedekatannya dengan ulama-ulama Muslim yang beraliran Sunni-moderat, termasuk kelompok Ikhwanul Muslimin Mesir bahkan Fethullah Gulen, memberikan porsi yang lebih dalam mengangkat citra Islam di Turki. Erdogan dalam beberapa hal sebenarnya enggan berkonflik, dia lebih mengedepankan negosiasi dan perdamaian. Dalam banyak hal, Turki tidak pernah melibatkan diri dalam konflik-konflik berkepanjangan diantara negara-negara mayoritas muslim di Timur Tengah.

Banyak pihak yang berseberangan dengan sikap politik Erdogan yang dianggap terlalu ambisius dalam merubah konstitusi di Turki. Erdogan misalnya, berhasil menghapus kalimat “sukularisme” yang terdapat dalam konstitusi Turki. Kalimat “tugas militer adalah membela sekularisme di Turki” berhasil dirubah menjadi hanya “tugas militer adalah membela bangsa dan negara dari ancaman dalam dan luar negeri”. Kesuksesan Erdogan dalam memberangus sekularisme dianggap oleh militer sebagai sebuah bentuk pembangkangan sekaligus mempersempit ruang gerak militer hanya berkutat pada persoalan keamanan negara, itupun jika terjadi ancaman. Turki dibawah kepemimpinan PM Binali Yildirim dan Presiden Erdogan bahkan “mengunci” militer dalam banyak hal, sehingga mengarahkan agar militer kembali ke barak.

Sejauh ini belum ada yang dapat membuktikan siapa dalang dibalik aksi kudeta militer yang gagal di Turki Jumat yang lalu. Erdogan sendiri mensinyalir bahwa faksi militer yang tidak puas dengan pemerintahannya kemudian berkolaborasi dengan Gerakan Hizmet pimpinan Fethullah Gulen yang lama bermukim di AS untuk membuat skenario kudeta terhadap pemerintahan Turki yang sah, meskipun kudeta pada akhirnya menemui kegagalan dan banyak pimpinan militer Turki yang ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Aksi kudeta yang dilakukan Militer Turki dalam banyak hal telah mencederai demokrasi yang justru mulai terbangun sejak Erdogan berhasil memenangkan 52 persen pemilihan presiden Turki secara langsung. Disamping itu, ekspektasi masyarakat Turki terhadap peradaban Islam yang menggeser sekularisme banyak tidak disukai oleh musuh-musuh Erdogan terutama mereka yang pro terhadap AS. Yang jelas, kudeta militer yang terjadi di Turki memberitahukan kepada dunia bahwa mereka jelas tidak suka dengan Erdogan yang dianggap ambisius untuk menjadikan Turki sebagai negara yang menghidupkan kembali peradaban Islam yang sempat jaya ketika masa Kekhalifahan Usmani.

Sejauh ini, sekularisme di Turki telah banyak meninggalkan ekses perseteruan dan konflik diantara umat muslim dan non-muslim disana. Madrasah-madrasah yang ditutup, larangan berjilbab bagi wanita muslim, digantikan oleh sekolah-sekolah modern serta kebebasan masyarakat yang tanpa batas sedikit demi sedikit mulai dirubah sejak Erdogan memimpin Turki. Warna sekukarisme Turki mulai sedikit bergeser digantikan nuansa Islam yang lebih ditonjolkan. Erdogan menilai, demokrasi yang sedang dibangun dan Islam sebagai entitas agama seharusnya bisa beriringan menuju sebuah bangsa yang lebih beradab. Bahkan, selagi masih menjabat PM Turki, Erdogan selama 12 tahun mempu merubah wajah Turki menjadi negara kekuatan ekonomi ketujuh di Eropa. Erdogan misalnya, berhasil meningkatkan pendapatan per kapita warga Turki dari 3000 menjadi 13 ribu dolar AS, sehingga cap “negara sakit” yang sempat menempel pada Turki sudah tidak berlaku lagi.

Turki dibawah Erdogan seakan menyiratkan lonceng kematian bagi sekularisme yang sejak 1960 digagas oleh Musthafa Kemal Attaturk ketika menghapus Kekhalifahan Usmaniyah dan mengganti dengan Republik Turki. Meskipun sampai saat ini, Turki bukan negara Islam, tetapi Erdogan sedikit demi sedikit menghapus sekularisme yang sempat menjadi ideologi negara. Sekularisme bagi Erdogan telah banyak menimbulkan masalah bahkan tak jarang menimbulkan konflik di masyarakat. Erdogan dengan dukungan 50 persen lebih dari masyarakat Turki terus berjibaku membangkitkan peradaban Islam yang sempat terkubur puluhan tahun lamanya. Turki nampaknya tidak akan menjadi Irak atau Suriah jilid kedua yang terus menerus berada dalam kungkungan konflik dan kehancuran seluruh peradaban yang telah dibangun disana.   

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun