Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hati Senang Walaupun Punya Utang

12 Juli 2017   07:46 Diperbarui: 12 Juli 2017   07:51 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lagu "Bujangan" yang dipopulerkan oleh Koes Ploes menggambarkan keceriaan dan kesenangan seorang pemuda yang hidup semasa lajang, karena hatinya selalu senang walaupun tak punya uang. Uang tidaklah menjadi persoalan bagi hidup seorang pemuda lajang zaman dahulu, karena tanpa uang, mereka masih bisa jalan, kongkow atau sekedar kumpul-kumpul menikmati obrolan bersama kawan senasib lainnya. Namun rasanya, hari ini sangat jauh berbeda, karena uang menjadi ukuran bagi siapapun, menjadi pengakuan atas prestasi dan prestise dalam hidup, sehingga walaupun hasil utang, mereka tetap senang dan tak pernah memikirkan bagaimana jika kelak tak sanggup membayar lagi utangnya. Syair lagu "Bujangan" yang populer di era 70-an yang menyebutkan, "hati senang walaupun tak punya uang" nampaknya tak lagi berlaku dan lebih cocok diganti dengan, "hati senang walaupun punya utang".

Fenomena berutang memang paling tren belakangan ini sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat urban. Karena tanpa utang, mereka sepertinya kesulitan hidup dan tentunya sulit diakui eksistensinya di tengah masyarakat. Hampir seluruh kebutuhan hidup manusia dapat "diutangkan" atau dalam istilah kerennya "dicicil". Seorang kawan malah sempat mengultimatum saya, "sampeyan kalau gak ngutang, mau kapan bisa punya rumah, punya motor, punya mobil?" Ini bukan ungkapan keterpaksaan tapi ujaran keharusan, karena situasi sekarang ini tak bisa hidup kalau tak pakai berutang. Bagaimana tidak, untuk membeli rumah atau kendaraan saja, penjualnya sudah "jor-joran" meringankan pembayaran dengan cara utang, bahkan seringkali malah nyinyir ketika ada pembeli yang justru berkeingingan untuk membayar kontan.

Masyarakat kita sudah tidak perlu lagi diajari berutang, karena utang sudah menjadi gaya hidup yang telah menjadi budaya dan tanpa sadar kita selalu merasa senang justru karena kita punya utang. Mungkin tak berlebihan kiranya jika saya sebut hampir seluruh kendaraan yang di jalan, rumah yang berjejer di komplek-komplek atau usaha-usaha sektor ril yang ada di tengah masyarakat seluruhnya hasil dari utang, sedikit sekali yang dibeli atau diupayakan dengan cara kontan. Padahal, berutang dengan cara kredit sama halnya dengan kita membeli "onde-onde" tapi membayarnya harus dengan "bola basket" sebuah perumpamaan berutang yang mengandung unsur "riba" dalam ajaran Islam yang tidak hanya dilarang, tetapi juga bisa menimbulkan kesengsaraan. Prinsip berutang yang semestinya pinjam satu rupiah dibayar tetap satu rupiah, saat ini tidak berlaku, karena sistem kredit yang ditawarkan selalu menyimpan "bunga" yang terus tumbuh subur karena kita pelihara, tetapi justru pihak lain yang memetiknya.

Negara kita pun demikian, pemerintahannya cukup senang walaupun harus menambah utang untuk menutupi defisit anggaran belanja negara (APBN). Total kebutuhan biaya APBN tahun 2017 sebesar Rp 648,13 triliun ternyata tidak mencukupi, karena ada pengalihan alokasi dana sebesar 16 triliun untuk membiayai beberapa program lain yang harus selesai dilunasi di akhir tahun ini. Kekurangan atau defisit APBN terpaksa harus ditutupi pemerintah dengan cara berutang ke negara-negara donor, padahal utang pemerintah sejauh ini belum pernah menurun, tetapi demi kebutuhan "hidup" negara, berutang adalah cara yang paling mudah dan efektif untuk menutupi seluruh kekurangan pembiayaan yang ada. Saya memang tidak paham soal keuangan, tetapi utang dalam kebijakan fiskal mungkin adalah keharusan untuk stabilisasi dan normalisasi, kira-kira begitu bahasa kerennya.

Utang negara kita saat ini tercatat sebesar Rp 3.672 triliun dari hasil penjualan Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman dan itupun masih harus berutang lagi demi menutup pembengkakan  anggaran negara. Sebagai awam soal keuangan apalagi utang, melihat angka sebesar itu rasanya saya sulit berargumen, "utang pasti dibayar, walaupun saya gak tahu kapan lunasnya". Saya sendiri ketika hanya mempunyai hutang Rp 500 ribu saja, selalu kepikiran bahkan kadang-kadang membuat tidur tak pernah nyenyak. Ingin sekali saya dengan cepat melunasi utang saya itu, karena dengan tak mempunyai utang hati pasti lebih senang.

Siapapun boleh tidak setuju dengan pendapat yang saya ungkapkan, namun yang pasti prinsip hidup tanpa berutang adalah satu-satunya kebahagiaan hati yang dapat saya rasakan. Memilih untuk menjadi kaum hedonis atau tidak adalah "kebebasan" yang ada dalam diri setiap manusia, yang tentunya masing-masing mempunyai konsekuensi sendiri-sendiri. Mungkin bagi kalangan hedonis, kenikmatan fisik berupa kebanggaan dan kebahagiaan selalu diukur oleh hal yang bersifat materi yang memuaskan dirinya, bagaimanapun cara memperolehnya walaupun harus dengan cara berutang. Bagi saya, kenikmatan fisik itu terbatas, terbatas pada kekuatan fisik karena usia yang terus berjalan maju secara linier. Berapa lama kehidupan ini bisa menawarkan, misalnya kenikmatan makan dan seks? Masing-masing memiliki jawaban sendiri-sendiri.

Saya secara pribadi masih mengikuti filosofi lagu "Bujangan" Koes Ploes, walaupun saya sudah tidak bujangan, tetapi hati senang walaupun tak punya uang dan hati gembira karena tidak punya utang. Tetapi, utang amal dan kebajikan tetap ada karena manusia hidup tak mungkin selamanya, karena suatu saat raga ini hancur dimakan tanah. "Utang" amal dan kebajikan justru akan berbuah manis karena jelas utang semacam ini bukan menyengsarakan malah menggembirakan. Makna dari sebuah jalan kehidupan manusia adalah bagaimana seseorang merasa berutang untuk membayar kekurangan dan kelemahan hidupnya melalui amal kebajikan yang kemudian dapat memberikan kemanfaatan kepada lingkungan dan sesamanya.

Kita memang harus mengikuti arus zaman, hidup ditengah gaya hidup masyarakat yang gemar berutang, walaupun melawan arus juga tak ada salahnya. Masyarakat berutang, begitupun negara berutang untuk menutupi kebutuhan hidupnya dengan cara meminjam uang kepada negara atau bangsa lain. Menjadi ada pada posisi "melawan arus" tidak selalu buruk, karena melawan arus agar bisa "selamat" terlebih menyelamatkan orang lain justru malah lebih baik, dibandingkan ikut arus zaman tetapi malah menyengsarakan. Lagi-lagi, manusia punya kebebasan yang tanpa batas, karena disitulah eksistensi manusia yang sesungguhnya. Walaupun kita tanpa sadar menjadi "budak" dari sebuah realitas hidup,ketika kita menjadi pasien dari seorang dokter, menjadi pegawai dari sebuah perusahaan atau banyak hal lainnya yang terkadang memang memposisikan manusia tidak bebas.

Jika bagi sebagian besar orang menganggap "hati senang walaupun punya utang", namun bagi saya, "hati senang walau tak punya uang". Hidup tanpa utang seperti hidup tanpa beban, bebas bergerak, melesat bagai anak panah dengan kebebasannya. Utang adalah "keterikatan" tetapi "tak punya uang" tetap masih bisa menikmati kebebasan menjalani seluruh inci kenikmatan hidup. Hidup tentu saja pilihan, mau bebas atau mau terikat. Jadi silahkan dikembalikan kepada diri masing-masing, karena setiap kita diberikan kebebasan secara luas oleh sang Maha Pencipta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun