Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

“Haji Manila” dan Fenomena Keagamaan yang Menipu

23 Agustus 2016   12:00 Diperbarui: 23 Agustus 2016   12:05 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Entah apa yang ada dibenak para jamaah Haji yang kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan ini, mereka berangkat Haji melalu jalur lain tak resmi, berangkat dari Filipina, berharap bisa sampai ke Mekkah dan bergabung bersama-sama para jamaah Haji asal Indonesia lainnya yang berangkat secara resmi melalui jalur yang telah ditetapkan oleh Kementrian Agama RI. 

Jamaah Haji yang berjumlah 177 orang ini kemudian ditahan petugas berwenang di Filipina akibat visa Haji yang mereka pergunakan ternyata palsu. Sebuah ironi dalam hal ibadah yang semestinya berangkat dari sebuah niat baik, ternyata bisa menipu dan merugikan. Keinginan untuk beribadah yang begitu menggebu dan semestinya berdampak pada peningkatan kesalehan individual justru malah menjadi bencana yang merontokkan seluruh nilai-nilai ibadah itu sendiri.

Fenomena Haji di Indonesia yang semakin menumpuk menunggu antrian bahkan hingga bertahun-tahun menjadi penyebab utama munculnya berbagai macam cara ilegal yang dimanfaatkan oleh travel-travel nakal sebagai ajang “bisnis ibadah” dengan cara menipu banyak orang. Menurut sumber dari salah satu “orang dalam” di Kementrian Agama, jamaah Haji yang berangkat melalui jalur ilegal ini sudah terendus sejak lama tetapi karena jumlahnya sedikit mereka bisa lolos dari pemeriksaan pihak imigrasi. 

Namun kali ini, menumpuknya calon jamaah Haji asal Indonesia di Bandara Manila, Filipina membuat curiga pihak bandara yang kemudian melakukan interogasi terhadap mereka. Perihal jamaah Haji “ilegal” yang berangkat ke Tanah Suci melalui jalur lain sebenarnya sudah terjadi sejak lama, hanya saja kasus jamaah Haji yang ditahan di Filipina menjadi fenomena “gunung es” dari serentetan kasus jamaah Haji “ilegal” yang terjadi di negeri ini.

Dalam ajaran Islam, Haji adalah ibadah yang diperintahkan agama kepada setiap Muslim, bukan karena mereka memiliki kemampuan menunaikan ibadah Haji, tetapi karena ada unsur keterlibatan Tuhan dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Jamaah Haji yang dapat berangkat ke Tanah Suci adalah mereka yang secara teologis dianggap sebagai “Tamu Tuhan” yang dipanggil agar mengunjungi “simbol Ketuhanan” yang ada di Mekkah dan Madinah. 

Ketika Tuhan berkehendak memanggil para tamu-Nya untuk berkunjung ke Tanah Suci, maka unsur “ketidakmampuan” seseorang dalam hal kekuatan fisik-material menjadi tidak berarti. Kita seringkali menyaksikan fenomena mereka yang berangkat Haji bukan karena mampu secara materil tetapi karena keyakinan mereka yang begitu kuat bahwa ibadah Haji pasti dapat mereka kerjakan. Keyakinan yang memperkuat keimanan seseoranglah yang kemudian mereka diistimewakan sebagi “tamu-tamu Tuhan” untuk melaksanakan Haji.

Ketika ibadah Haji hanya dipahami dalam arti fisik, dengan hanya mengukur kemampuan material-finansial seseorang, maka justru fenomena antrian yang begitu panjang dalam Haji menjadi persoalan tersendiri yang menuntut pemecahan secara material pula. Maka tak jarang kaum Muslim Indonesia yang merasa memiliki kemampuan finansial meskipun miskin spiritual rela membayar lebih untuk ongkos perjalanan Haji dengan beragam cara, termasuk menempuh jalur tak resmi diluar jalur yang ditetapkan pemerintah. 

Haji yang semestinya menjadi sebagai ibadah spiritual dengan tujuan mengejar kesalehan individual justru jatuh menjadi fenomena keagamaan materialistik yang menipu karena hanya mengejar prestise dengan tujuan keduaniaan. Padahal, Haji itu ketika diniatkan dengan lurus, dijalankan dengan yakin dan dimaknai sebagai peningkatan nilai-nilai spiritualitas kepada Tuhan maka yang diperoleh bukanlah predikan keduaniaan menjadi “Pak Haji” atau “Bu Haji”, tetapi berpredikat mabrur yang nilai-nilai kemanusiaannya lebih diterima oleh Tuhan.

Realitas kaum Muslim di Indonesia memahami ibadah haji sebagai ibadah yang dapat dilakukan oleh seseorang yang mampu saja, padahal kemampuan dalam arti fisik yang dipandang dari sudut kemanusiaan tidaklah sama dengan kemampuan secara artifisial dimata Tuhan. Kita tentu seringkali mendengar cerita-cerita mengenai seseorang yang melakukan ibadah Haji, ketika diukur secara fisik dan materi tidak mungkin dilakukan, tetapi justru kemampuan mereka yang berangkat dari kegigihan secara spiritual dapat terbukti sebagai jalan mudah mereka berangkat ke Tanah Suci. 

Kendala mengantri selama bertahun-tahun untuk dapat melakukan perjalanan Haji pada akhirnya tidak pernah menjadi persoalan bagi mereka, karena Haji adalah “panggilan Tuhan” yang tidak bisa diukur dalam arti fisik dengan kemampuan material seseorang saja.

Hal inilah yang seharusnya menjadi bahan masukan untuk para pengelola ibadah Haji di Indonesia, terutama pihak berwenang yang secara legal mengurus persoalan Haji. Memberikan pemahaman yang baik dan benar mengenai Haji sebagai bentuk ibadah spiritual dan bukan semata ibadah fisik-material menjadi sangat diutamakan. Sejauh ini, bayangan seseorang yang berkeinginan melaksanakan ibadah Haji selalu diukur secara materi, berapa biayanya, bagaimana menyisakan bekal untuk keluarga, berapa bekal yang nanti harus dibawa selama Haji, yang kesemuanya bernilai materi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun