Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bekal Politik Calon Independen

1 Mei 2016   11:07 Diperbarui: 1 Mei 2016   11:14 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Munculnya istilah calon independen dalam siklus kekuasaan politik di Indonesia bukanlah hal baru. Sepuluh tahun yang lalu, Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) memiliki gubernur yang berasal dari jalur independen, yaitu Irwandi Yusuf. Di Batubara, Sumatera Utara, OK Arya Zulkarnaen terpilih sebagai bupati dari jalur independen bahkan sudah dua kali terpilih. OK Arya disebut menjabat bupati Batubara sejak 2008 hingga sekarang. Pasangan Irwandi-Nazar pada saat Pilkada NAD 2006 memperoleh 38,20 persen suara tertinggi diantara 7 pasang calon lainnya, sedangkan OK Zulkarnaen pada Pilkada 2013 lalu memperoleh 36,6 persen suara dari total suara pemilih. 

Kemenangan Irwandi di NAD disebut-sebut merupakan babak baru dalam konstelasi politik Indonesia dimana jalur independen berhasil menembus ruang kekuasaan politik yang selama ini di dominasi partai. Animo terhadap pilihan jalur independen nampaknya semakin menguat jika melihat pada peta politik di Pilkada 2015 yang lalu. Studi yang dilakukan Skala Survey Indonesia (SSI) menyebutkan diantara seratus persen calon independen yang berlaga di Pilkada, 14,4 persen diantaranya memenangkan Pilkada langsung di seluruh Indonesia.

Jalur independen diyakini oleh sementara kontestan politik sebagai alternatif, mengingat biaya politik yang dikeluarkan oleh seorang kontestan bisa dibilang termurah. Hal berbeda jika biaya politik dihitung berdasarkan jalur partai yang diyakini sangat mahal dan bahkan seringkali menjadi ajang kolusi para politisi dan penguasa atau politisi dan pengusaha. 

Terdapat keterikatan sendiri secara politik pada akhirnya jika kontestan kemudian mengambil jalur non independen yang tetek bengek-nya difasilitasi partai. Para kontestan yang terpilih melalui jalur partai, biasanya menyisakan persoalan politik “balas budi” antara kontestan dan partai. Penjaringan calon melalui mekanisme partai karena dilakukan berdasarkan praktek transaksional, sangat mungkin membuka peluang KKN yang dilakukan para kontestan setelah terpilih, sedangkan jalur independen sudah menekan biaya politik serendah mungkin sehingga bisa terhindar dari unsur-unsur KKN dalam proses pencalonannya dan setelah ia terpilih kemudian.

Meskipun demikian, kasus di Indonesia harus dibaca sebagai representasi dari sistem politik yang secara mayoritas masih didominasi partai. Seorang kontestan yang terpilih dari jalur independen nampaknya tetap harus bekerjasama dengan partai, karena bagaimanapun anggota-anggota parlemen di daerah (DPRD) merupakan perwakilan dari unsur-unsur partai politik. Keberhasilan-keberhasilan para pejabat daerah yang berasal dari jalur independen selalu melakukan kompromi pada akhirnya bahkan melebur dengan unsur-unsur partai politik yang ada. Kompromi politik dalam kerangka pemerintahan daerah antara eksekutif dan legislatif merupakan keharusan jika ingin program-program kerja yang sudah dicanangkan dapat berjalan dengan mulus. Hal ini dapat kita lihat bagaimana Aceh dan Batubara melakukan kompromi politik antara eksekutif dan legislatif, sehingga pelaksanaan-pelaksanaan pembangunan tidak “tersandera” oleh kekuatan mayoritas partai di legislatif.

Saya melihat, kasus majunya Basuki Thahaja Purnama atau Ahok di Pilkada DKI 2017 agak sedikit rumit. Keberadaan Ahok yang seringkali menimbulkan kegaduhan politik justru akan membuat jalannya menuju kursi DKI 1 semakin tersendat nantinya. Dalam banyak hal, Ahok nampaknya semakin tidak sejalan dengan sebagian besar anggota DPRD DKI Jakarta. 

Sejak cara Ahok yang menganggap terjadi penyimpangan dalam DPRD dengan menyebut istilah “Begal Anggaran” mendapat perlawanan dari sebagian besar anggota DPRD. Belum lagi cara politik Ahok yang tidak lazim, seperti keluar-masuknya dia dalam partai, konfrontasi terbuka dengan BPK, pemecatan-pemecatan pejabat yang berada dibawah kepemimpinannya, kebijakannya soal reklamasi dan sumber waras atau seputar kebijakan-kebijakan Ahok soal penggusuran di wilayah DKI Jakarta. Meskipun secara politik, Ahok sudah mendapat dukungan resmi dari Hanura dan Nasdem, namun tetap saja ini masih masih minoritas secara hitung-hitungan politik nantinya.

Menjadi kontestan dari jalur independen di DKI Jakarta tidak bisa hanya bermodalkan KTP dari warga dengan jumlah yang sudah ditentukan. Modal utama yang paling kuat adalah kepercayaan rakyat yang sangat besar, seperti yang pernah dilakukan oleh kontestan-kontestan indepen lainnya. Lagi pula, seorang kontestan independen semestinya membangun komunikasi berupa kompromi politik dengan kekuatan-kekuatan partai yang ada dalam lembaga legislatif. 

Alangkah sulitnya nanti ketika membayangkan seorang kontestan independen yang terpilih kemudian tidak mampu membangun komunikasi yang baik dengan para legislator, maka niscaya program-program pembangunan yang diajukan hanya sebatas “lewat” diatas meja dan “tersandera” secara politik sehingga proyek-proyek pembangunan mandeg. Justru kita tidak pernah menginginkan hal itu. Rakyat hanyalah tahu bahwa tanggung jawab mereka sudah diberikan sepenuhnya kepada para legislator yang mewakilinya dan kepada kepala daerah yang diangkatnya. Sehingga pembangunan-pembangunan yang lancar dan tepat waktu merupakan ekspektasi publik terhadap harapan para pemimpin daerahnya.

Asumsi saya, kalaupun nanti Ahok misalnya terpilih lagi dalam Pilkada 2017 mendatang  tetapi dengan tetap melakukan model komunikasi seperti yang dilakukan sekarang ini: menimbulkan kegaduhan politik, perluasan kekecewaan masyarakat, konfrontasi terbuka dengan lembaga negara lain, tidak ada kompromi dengan partai politik, maka DKI Jakarta akan tetap tidak berubah menjadi lebih baik. 

DKI Jakarta akan tetap berada pada resonansi kegaduhan yang bahkan durasinya bisa jadi lebih panjang. Kegaduhan tentunya akan berdampak luas terhadap kemacetan-kemacetan pembangunan yang sudah berjalan. Dan mungkin saja, Ahok berada pada posisi yang setiap saat mudah saja di impeach. Meskipun prinsip impeachment tidak mudah karena sesuai dengan UU No 32/2004 bahwa seorang gubernur dapat di impeach dengan syarat melakukan korupsi dan perbuatan kriminal. Maka sekali Ahok ditetapkan bersalah oleh KPK, habislah karir politiknya.   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun