Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok dalam Balutan Kultus Politik

8 Oktober 2016   10:51 Diperbarui: 8 Oktober 2016   11:13 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebentar lagi Ibu Kota akan menggelar hajatan besar politik, yaitu Pilkada langsung serentak pada Februari 2017. Terdapat tiga cagub DKI Jakarta yang saat ini resmi mengikuti kontestasi politik, pasangan Ahok Djarot, Anies-Sandiaga dan Agus-Sylviana. Semakin dekatnya perhelatan politik di DKI Jakarta, para pendukung masing-masing calon mulai menyusun strategi politik untuk bisa mengantarkan mereka menjadi pemenang di Pilkada Jakarta mendatang. 

Bahkan tak jarang, semakin dekatnya Pilkada, suhu politik di Ibu Kota tampaknya semakin memanas, bukan karena terprovokasi oleh masing-masing pendukung ketiga cagub ini, tetapi oleh ekspektasi masyarakat yang begitu peduli dan butuh pemimpin Jakarta yang dapat diterima rakyat sekaligus mampu memberikan solusi yang tepat bagi Jakarta, bukan hanya solusi secara fisik pada pembangunan berbagai infrastrukturnya saja, tetapi juga harus mempu menjadi teladan baik sehingga mampu membentuk suatu gerakan moral bagi warganya.  

Mungkin tidaklah berlebihan kiranya, jika cagub petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang mencalonkan dirinya melalui dukungan 4 parpol justru memunculkan resistensi yang cukup besar di masyarakat. Ahok dibenci oleh banyak orang sekaligus dia juga disukai. Ahok disukai karena keberhasilannya dalam membangun banyak infrastruktur di Ibu Kota, seperti rusun, RTH, normalisasi sungai, perbaikan transportasi dan tentu saja proyek reklamasi. 

Ahok juga disukai karena dinilai sebagai pribadi bersih, jujur, transparan, apa adanya, ceplas-ceplos, tidak korupsi dan berani. Namun dalam banyak hal, performa kepemimpinan Ahok selama membenahi Jakarta justru seringkali berbenturan dengan aspek nilai-nilai moral-sosial dalam masyarakat. Hal ini seringkali ditunjukkan oleh gaya komunikasinya yang cenderung kurang mencerminkan teladan seorang pemimpin yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat.

Saya teringat ketika Lao Tze pernah berkata, “paling baik bagi pemimpin, kalau rakyat tidak sadar bahwa ia ada, kurang baik apabila rakyat mengakui dan mematuhinya. Paling buruk jika rakyat membencinya. Kalau pemimpin tidak menghormati rakyat, rakyatpun tak menghormatinya. Namun pemimpin yang baik, tidak banyak bicara. Ketika pekerjaannya sudah selesai, tujuannya tercapai, mereka semua (rakyat) akan berkata, kami lakukan ini sendiri”.  

Pemimpin yang baik dalam hal ini bahwa rakyat menyadari seakan-akan pemimpin itu tidak ada, karena seluruh pekerjaan dan tujuan yang hendak dicapai merupakan keinginan bersama, antara pemimpin dan rakyatnya, bukanlah keinginan sepihak. Dan ketika seluruh tujuan tercapai dan pekerjaan selesai, justru ini bukan pekerjaan pemimpinnya, tetapi pekerjaan semua pihak yang turut membantu pemimpin menyelesaikan seluruh pekerjaannya.

Apa yang diungkapkan Lao Tze memang terlampau idel, tetapi paling tidak seorang pemimpin dapat menjadi teladan bagi rakyatnya sehingga terjadi sebuah komunikasi yang terbangun secara baik, antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin, saya kira, bukan hanya sekedar menangguk keuntungan dari sistem demokrasi lima tahunan, tetapi bagaimana dapat memberikan teladan yang baik, sehingga ketika sudah tak lagi menjadi pemimpin, prestasinya sebagai pemimpin tetap dikenang masyarakat.

Kepemimpinan Ahok selama di DKI Jakarta sebenarnya dipopulerkan dan terdongkrak kredibilitasnya oleh performa kepemimpinan Jokowi selama menjadi gubernur. Rasa-rasanya, jika bukan Jokowi yang saat itu mendampingi Ahok disaat pilgub DKI 2012, kemungkinan besar akan sulit menaikkan popularitas dirinya dihadapan publik. Kepopuleran Ahok kemudian dimanfaatkan oleh para pendukungnya sebagai modal besar politik untuk mengusung Ahok di Pilkada Jakarta 2017 ini. 

Ahok juga nampaknya sadar bahwa dia memiliki modal politik yang cukup besar untuk bertarung di Pilkada Jakarta tahun depan. Kepiawaian Ahok dalam mengelola kepopulerannya ditengah para pendukungnya seakan menyiratkan ada kecenderungan terkooptasi secara politik bahwa para pendukungnya terkesan berlebihan dalam memandang Ahok. Kecenderungan yang terlampau berlebihan ini bisa saja mereka jatuh pada sikap cult of personality atau kultus individu.

Kecenderungan kultus ini saya kira, tidak hanya dibentuk oleh simbolisasi Ahok oleh para pendukungnya terhadap semua aspek kehidupan sosial-politik, bahkan segala aspek yang menuju kepada hal-hal yang akan menjatuhkan kredibilitas Ahok, baik itu kritik, sindiran atau teguran seakan-akan dianggap akan mengganggu “kesucian” Ahok. Bagi para pendukungnya, Ahok semacam “simbol suci” yang harus dipertahankan, diagungkan, tidak berdosa dan kebal terhadap segala macam kritik. Kultus politik ini justru semakin mendapatkan tempatnya ketika sebuah aplikasi search engine Google menampilkan nama “Ahok” untuk setiap pencarian kata-kata yang berhubungan dengan kalimat “kali bersih jakarta”. Momentum ini justru semakin menguatkan image Ahok yang begitu hebat sebagai seorang pemimpin dimata para pendukungnya.

Baru-baru ini, Ahok juga tetap “disucikan” ketika dia justru dianggap melakukan provokasi dengan bermain-main dengan ayat di Kitab Suci. Segala upaya dilakukan untuk tetap menganggap Ahok tidak mungkin melakukan itu, karena jika melakukan itu pasti bukan Ahok, karena Ahok akan jauh dan terhindar untuk menggunakan cara-cara negative campaign apalagi black campaign. Bagi para pendukung Ahok, provokasi justru sedang dilakukan para lawan politik Ahok yang sengaja ingin  menjatuhkan kredibilitasnya ditengah memanasnya suhu politik jelang Pilkada Jakarta. Sentimen kultus politik justru dibangun dan ditumbuhkan ketika menganggap pemimpinnya tanpa cela, kebal kritik dan menepis seluruh anggapan-anggapan negatif yang ada pada dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun