Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Islam "Wasathiyah" Indonesia: di Antara Moderatisme dan Ekstrimisme

26 Juni 2020   15:22 Diperbarui: 26 Juni 2020   15:22 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keberadaan Islam Indonesia hampir dipandang oleh seluruh dunia mewakili satu bentuk moderatisme Islam. Tidak saja dari sisi sejarah Islamisasinya yang menempatkan para guru sufi---atau dikenal dengan "wali"---yang kental nuansa mistisisme tetapi hampir tidak mempertentangkan aspek-aspek budaya lokal. Realitas masyarakat Indonesia yang religius, telah memberikan kesan kuat bahwa Islam benar-benar mampu menyerap kedalam batin penduduknya karena ide dan ajarannya yang mudah dan akomodatif.

Kita bahkan hampir-hampir tidak percaya, bahwa sesungguhnya Indonesia benar-benar merupakan negeri Muslim (darul Islam), sekalipun kita tidak pernah disuguhkan suatu pemandangan yang khas Islam, seperti di Timur Tengah, dimana simbol-simbol keagamaan tampak semarak sebagaimana kita saksikan juga di banyak negara Muslim.

Sampai pada tahap tertentu, orientalis kawakan, Snouck Hurgronje sampai pada kesimpulan bahwa Islam Indonesia lebih banyak dibentuk oleh aktivitas berpikir, bukan bertindak. Hal ini jelas didasarkan pada kenyataan bahwa para wali penyebar Islam merupakan sufi-intelektual yang telah mengalami serangkaian pengalaman, memahami Islam secara lebih dalam serta menyerap ide-ide lokal, sehingga memberikan dampak pada watak dan corak Islam di Indonesia.

Islam "Wasathiyah", begitu barangkali istilah yang tepat untuk menggambarkan corak Islam Indonesia. Konsep yang terambil dari asal kata "w-sh-th" ini memang disebut juga dalam Al-Qur'an untuk menunjukkan bahwa realitas Islam adalah "ummatan wasatha" (umat yang berkeadilan/moderatisme). Semangat "adil" dan "moderat" tentu saja inheren dalam watak Islam yang "rahmatan lil 'alamin".

Pembentukan watak Islam moderat atau "wasathiyah" di Indonesia terbukti masih terpelihara sampai saat ini, terbukti bahwa dua ormas besar Islam sampai saat ini tetap bertahan di Indonesia: NU dan Muhammadiyah.

Sekalipun muncul beberapa fenomena sosial  yang melakukan penolakan terhadap tradisi yang dianggap tidak sesuai dengan Islam, semata-mata bukanlah keinginan untuk menolak keseluruhan tradisi lokal yang ada, tetapi lebih didasari oleh keinginan untuk keluar dari belenggu tradisi yang sejauh ini mengungkung mereka. Hal ini dapat dibuktikan oleh adanya semangat penyatuan antara adat dan syariat, sebagaimana dialami dalam tradisi lokal masyarakat Muslim di Minangkabau.

Islam wasathiyah yang hidup dalam aktivisme dan intelektualisme masyarakat Muslim di Indonesia, bukannya tanpa masalah, tetapi terkadang memperlihatkan sikapnya yang terlampau lemah, bahkan dalam banyak hal justru terlampau permissif terhadap berbagai tradisi pra-Islam yang dinilai sangat kontraproduktif dengan penyebaran ide-ide modernisme Islam.

Dalam konteks tertentu, konsep Islam "wasathiyah" akan kehilangan semangat dinamisitas dan progresivitasnya, sebab respon mereka terhadap globalisasi jelas akan terhambat oleh kesibukan mereka melakukan "kompromi intelektual" dengan ide-ide atau praktik kelembagaan pra-Islam di masa lalu.

Kenyataan ini akan membuat banyak diantara kelompok modernis yang giat melakukan gerakan-gerakan bersifat puritanistik: romantisme-kultural dengan mengembalikan realitas Islam kepada masa awal keemasannya ketika zaman Nabi Muhammad. Gerakan-gerakan ini sangat dinamis, reaktif bahkan konfrontatif dalam banyak beberapa kasus, dimana suasana ekstrimisme sangat kuat memaksa tradisi-tradisi tertentu yang telah "diislamisasi" agar dihilangkan atau bila perlu dihancurkan.

Bagi saya, Islam wasathiyah sekalipun tetap menjadi pilihan pijakan teologis yang terbaik, terutama ketika harus berada pada posisi diantara dua kutub teologi yang ekstrem. Islam, bagaimanapun merupakan agama dengan seperangkat ajaran dan doktrin yang berdimensi Ilahiyah, namun sekaligus juga peradaban yang dibangun oleh ide, pemikiran, atau aktivisme yang mengalami serangkaian sejarah panjang terkait dengan akulturasi, asimilasi, dan adaptasi dengan beragam tradisi dan kebudayaan lokal.

Proses ini dalam banyak sejarah, selalu menemukan puncaknya pada dimana hampir sama sekali tidak ditemukan pemberangusan ide-ide atau lembaga-lembaga pra Islam ketika Islam mulai diterima dan berkembang dalam suatu wilayah, termasuk di Indonesia. Yang ada justru, ide-ide atau lembaga-lembaga itu tetap ada tanpa tercerabut dari akarnya sama sekali, tetapi Islam tetap melekat menyemai batin masyarakat Indonesia sejauh ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun