Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kengerian Tergambar Jelang Putusan MK

27 Juni 2019   11:32 Diperbarui: 27 Juni 2019   11:45 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam suatu negara hukum yang menghormati dan menjunjung tinggi suatu keputusan hukum, setiap orang tentu saja dapat menebak mana keputusan yang benar-benar cermin suatu keadilan bagi masyarakat. 

Itulah sebabnya, para hakim adalah "mandataris Tuhan" yang memutuskan suatu perkara berdasarkan rasa keadilan, bukan atas dasar desakan politik atau kekuatan tertentu, karena seluruh keputusan adalah kepanjangan dari "tangan Tuhan" itu sendiri. 

Maka, tugas hakim dalam memutus suatu perkara jelas berimplikasi luas, tidak saja membawa suara keadilan masyarakat, tetapi memiliki tanggung jawab personal kepada Tuhan disadari maupun tidak oleh dirinya.

Maka, dalam ajaran Islam, seorang hakim yang didaulat dan diserahi kepercayaan untuk memutus suatu perkara dalam konteks kebenaran memiliki konsekuensi teologis dan sosiologis sekaligus. 

Tugas berat hakim tidak saja memutus perkara seadil-adilnya dan memberikan rasa keadilan sebenar-benarnya kepada publik, namun bertanggungjawab secara teologis, karena seluruh keputusan Tuhan sepenuhnya berada di tangan para hakim yang adil. 

Konsekuensi tersebut jelas akan membangun kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap entitas lembaga hukum, sebab setiap keputusan hakim dianggap sebagai "takdir Tuhan" yang mau tidak mau harus diterimanya sebagai wujud keadilan-Nya di muka bumi.

Memang, tidak ada satu keputusan pengadilan di dunia yang akan melegakan semua pihak, sekalipun telah sesuai dengan segala bukti dan fakta hukum yang disesuaikan dengan perundang-undangan yang berlaku. 

Namun, jika suatu keputusan yang baru akan dibacakan, tetapi mengundang banyak hal yang tidak saja menakutkan, tetapi justru membuat situasi dan kondisi yang diciptakan sedemikian "mengerikan", ini jelas menandakan ada tingkat kepercayaan masyarakat yang telah hilang bahkan lumpuh dalam memandang wajah peradilan di negerinya sendiri. 

Kengerian bukan diciptakan oleh indikasi kemungkinan adanya penolakan sebagian masyarakat terhadap suatu keputusan hukum, tetapi dipicu oleh persepsi pemerintah sendiri dimana seolah-olah proses pengadilan akan diwarnai aksi kekerasan karena 30 teroris akan melancarkan aksinya.

Kengerian jelas tergambar pada hari ini, jelang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan membacakan amar putusan perselisihan hasil pemilu presiden 2019. 

Kengerian yang tidak saja dihembuskan oleh warga sipil yang memang daya kepercayaannya kepada seluruh lembaga pemerintahan merosot tajam, tetapi diciptakan sendiri oleh penguasa sehingga jelas membuat masyarakat semakin takut sekalipun mereka adalah warga yang sangat menjunjung tinggi dan percaya terhadap segala konsekuensi hukum yang berlaku. 

Inilah yang sekaligus membuat salah satu tokoh masyarakat, Din Syamsuddin, bereaksi keras atas pernyataan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko yang menyebutkan sudah ada 30 teroris yang masuk wilayah Jakarta dan akan melancarkan aksinya disaat MK memutuskan perkara perselisihan hasil Pilpres 2019.

Alih-alih menciptakan suasana kondusif dan membangun tingkat keamanan dan kenyamanan masyarakat, pernyataan Moeldoko jelas mengkhawatirkan atau bahkan menambah kengerian di tengah animo masyarakat yang sedemikian hebat tersihir oleh drama-drama faktual yang dipertontonkan melalui serangkaian sidang di MK. Bangsa ini semakin dihantui oleh dramaturgi politik remeh-temeh dalam perebutan kekuasaan, hampir tak ada pihak yang rela melepaskan diri dari hiruk-pikuk ini, kecuali saling berebut pengaruh sebagai pihak yang pro maupun kontra. Terlalu banyak energi positif masyarakat yang digadaikan sia-sia dalam rangka perebutan kekuasaan, padahal aspek-aspek sosial yang lainnya banyak yang hampir tak pernah disentuh sedikitpun.

Jelang keputusan MK tergambar melalui kesibukan yang luar biasa para aparat yang memberlakukan rekayasa lalu-lintas dan berdampak pada sulitnya akses masyarakat untuk melakukan aktivitasnya secara normal. 

Bahkan, asumsi soal adanya teroris semakin membuat kehidupan masyarakat di Jakarta semakin tidak nyaman, dihantui rasa ketakutan dan kengerian, padahal ini terkait oleh suatu pembacaan keputusan hukum yang benar-benar cermin dari keadilan. 

Ironi memang, bahwa suasana keadilan justru terganggu sedemikian rupa oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap realitas hukum, pro-kontra kekuasaan politik, bahkan ditambah persepsi negatif mereka terhadap munculnya aksi teror di sela-sela diputuskannya ketetapan hukum.

Aroma perebutan kekuasaan seolah tak pernah melemah, sekalipun masa-masa genting kontestasi telah jauh meninggalkan arenanya. Disadari maupun tidak, kekuasaan ibarat tulang belulang yang diperebutkan, padahal daging yang lezatnya telah habis tak bersisa. 

Seolah, kekuasaan politik itu menjadi penentu maju-mundurnya suatu negara dan bangsa, padahal, kekuasaan tentu saja siklus lima tahunan yang siapapun berhak mendapatkannya, tanpa harus berjibaku mengorbankan apa saja. 

Indonesia, tentu saja dibangun oleh peradaban yang saling bersinergi diantara nilai-nilai moral, tradisi, adat, agama, yang hidup saling mendukung, tidak semata-mata hasil perebutan kekuasaan yang seringkali mengorbankan banyak pihak. 

Kita tentu saja tidak berada dalam siklus zaman Majapahit yang direbut kekuasaan politiknya oleh Demak, bukan pula kehebatan Demak yang pada akhirnya harus tunduk pada kekuasaan Mataram.

Sebagai bangsa yang melek dan taat hukum, kita tentu saja belajar dari kearifan dan kebijaksanaan para mbah-mbah kita terdahulu yang senantiasa menekankan aspek keluhuran moral, menerima segala konsekuensi hukum yang telah disepakati dan ditetapkan, melegakan atau menyempitkan sebagian atau beberapa pihak sekalipun, namun itulah keputusan hukum yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. 

Tak perlu juga para penguasa menakut-nakuti bahwa ketika keputusan hukum itu ditolak, terjadi kekacauan dan kekisruhan yang dimotori oleh para teroris yang pada akhirnya menciptakan "kambing hitam" terhadap suatu kelompok keagamaan tertentu dalam masyarakat. 

Pemanfaatan kambing hitam ini justru yang menambah suasana keadilan semakin terkikis, padahal membangun kepercayaan bersama dengan memberikan rasa nyaman kepada semua pihak, jelas lebih penting daripada sekadar membuat asumsi-asumsi negatif.

Jadi, mari kita terima apapun keputusan mahkamah, tanpa harus diikuti rasa takut berlebihan, sebab mahkamah yang terambil dari istilah bahasa Arab,"hakama" yang berarti "memimpin", "memerintah" atau "mengadili" berarti ia merupakan tempat paling otoritatif dalam memerintah dan memutuskan suatu perkara hukum (mahkamah). 

Istilah "mahkamah" ini seolah melepaskan diri dari keterkaitan sejarah pra-Islam di Nusantara, dimana dulu para hakim dalam sebuah mahkamah kerajaan diberi gelar "dharmadhyaksa" atau "kertopatti", tetapi dalam hal ini mereka tetap diberi gelar "hakim" konstitusi.

 Itu artinya, mahkamah erat kaitannya dengan nuansa teologis yang bahkan memiliki keterikatan dengan sejarah peradaban Islam yang kuat. Jika tidak mempercayai mahkamah, berarti sama halnya dengan tidak meyakini akan suatu "keputusan Tuhan" itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun