Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dialektika Budaya dalam Tafsir Nusantara

1 Maret 2019   16:16 Diperbarui: 1 Maret 2019   20:15 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah mural yang berisi dan membawa pesan damai menghiasi tembok di Lamper Kidul, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (7/2/2017). Mural tersebut membawa pesan damai di tengah keberagaman masyarakat yang saat ini rentan dengan isu SARA dari media sosial.(KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Perkembangan Islam di Nusantara saya kira, mengalami perkembangan yang sedemikian cepat di awal abad 19, ditengah banyaknya anggapan bahwa agama Islam mengalami kemundurannya sejak kekhalifahan hancur di Turki dan Jazirah Arab dikuasai Bani Su'ud dan Wahabi. Para ulama Nusantara kebanyakan adalah mereka yang mengenyam pendidikan secara langsung di Mekah dan Madinah, bahkan tak sedikit para ulama yang menetap disana tetapi tetap mengajarkan Islam dalam semangat dialektika tradisi dan kebudayaan Jawa. 

Hal ini tentu saja menarik, sebab Dunia Arab sangat berbeda kebudayaannya, tetapi para ulama mampu melakukan akulturasi pemikiran agamanya tanpa keluar dari aksen budaya lokal yang selama ini dianutnya.

Perkembangan khazanah tafsir Nusantara kemudian berkembang luas dan telah banyak dibahas dalam berbagai penelitian atau karya ilmiah, semakin memperkaya dialektika agama-budaya di Tanah Air. Tak kurang dari puluhan karya tafsir para ulama Nusantara yang ditulis dengan aksara Jawa (carakan atau pegon), seperti Carakan Muhammadiyah yang ditulis oleh ulama Muhammadiyah Surakarta, pada 1927; Tafsir Al-Huda yang ditulis dalam bahasa Jawa oleh ulama-militer bernama Bakrie Syahid; atau Tafsir Nurul Ihsan hasil pemikiran al-Qadhi Haji Muhammad Sa'id bin Umar bin Aminuddinbin Abdul Karim yang ditulis dalam bahasa Melayu. Bahkan, beberapa karya penting, seperti Tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis Abdurrauf As-Sinkili telah lebih dulu mewarnai khazanah tafsir Nusantara.

Salah seorang pakar tafsir Islah Gusmian, menulis banyak hal soal sejarah tafsir di Nusantara, bahkan banyak mengungkap sisi lain terutama realitas dialektika budaya-agama dalam berbagai karya tafsir Alquran ulama Nusantara. Dosen tafsir Alquran IAIN Surakarta ini, bahkan pernah mendapatkan tafsir berbahasa Madura yang sangat jarang diketahui masyarakat. 

Menurutnya, terdapat dua pendekatan para ulama ketika mereka menulis tafsir Alquran. Pertama, pendekatan sosio-humanistik yang sangat kental mewarnai hampir seluruh karya tafsir di Nusantara.

Pendekatan ini memungkinkan Islam sebagai agama yang turun di Arab "diserasikan" dengan nilai-nilai budaya lokal yang berkembang dan menjadi bagian dari ritual masyarakat. Kedua, pendekatan nalar eklektik, dimana ada pilihan tertentu yang diambil dari pemikiran ahli tafsir Timur Tengah lalu diserap kedalam budaya lokal dan dibuat suatu eksperimen (tajribah).

Salah satu pendekatan secara sosio-humanistik dalam tafsir akan sangat terasa ketika kita membaca tafsir karya dua ulama kakak-beradik, Misbah Musthafa dan Bisyri Musthofa. 

Dalam "Iklil fi Ma'ani al-Tanzil", karya Bisyri misalnya ketika menafsirkan kata "alif laam miim" yang umumnya tidak diterjemahkan, justru diuraikan selaras dengan konteks budaya saat itu. Bisyri misalnya, dalam menafsirkan makna "alif laam miim" seolah menggambarkan suasana rapat yang belum dimulai penuh keriuhan dan menjadi tenang setelah "alif laam miim" itu difirmankan Tuhan. Saudaranya, Misbah, memberi penekanan lain, dimana kata "alif laam miim" diumpamakan kode rahasia Tuhan atas manusia sama halnya dengan kode surat rahasia yang menjadi bagian protokol kenegaraan.

Pendekatan nalar eklektik dalam corak tafsir Nusantara, barangkali dapat ditemukan dalam salah satu tafsir berbahasa Jawa yang mengungkap makna sederhana namun sarat makna. Misalnya, ada salah satu tafsir berbahasa Jawa yang menjelaskan makna "alhamdu" sebagai "badan", "lillahi" sebagai "hati", "Rabbi" sebagai "nyawa", dan "'Alamiin" sebagai "pengawasan". 

Setiap orang ketika menunjukkan rasa bersyukur atas kesehatan badannya, kekuatan dirinya dimulai dengan melihat kepada dirinya sendiri, sehingga tumbuh rasa syukur kepada Tuhan setiap hari. Setiap rasa syukur harus mantap diyakinkan dalam hati dan diaktualisasikan dalam setiap tindakan, karena segala aktivitas manusia sejatinya berasal dari nyawa yang dititipkan Tuhan sang Maha Pencipta yang senantiasa mengawasi segala prilaku kita, yang terang-terangan maupun tersembunyi.

Dialektika budaya-agama dalam khazanah tafsir Alquran di Nusantara memang selalu tampak menarik, sekalipun luput dari berbagai kurikulum pendidikan tinggi yang secara umum cenderung berkiblat kepada tafsir yang bercorak Timur Tengah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun