Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

NU dan Politik: Refleksi Harlah NU ke-93

31 Januari 2019   12:02 Diperbarui: 31 Januari 2019   12:15 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin hanya Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan istilah "harlah" kependekan dari "hari lahir" sebagai penyebutan momen kelahiran organisasi para ulama ini. 

Istilah ini mungkin saja dipergunakan untuk membedakannya dengan berbagai ormas Islam lain yang kerap menggunakan istilah berbahasa Arab, "milad", sekaligus juga tidak ingin ikut-ikutan menggunakan istilah HUT yang terkesan formal karena biasa dipergunakan oleh pemerintah. 

NU menjadi ormas Islam terbesar paling unik dan memiliki akar sejarah dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Keunikan organisasi ini terletak pada jumlah anggotanya yang banyak, mengakar, bahkan mungkin saja lebih banyak dibandingkan klaim mereka sendiri soal jumlah para pengikutnya.

Istilah "kebangkitan ulama" yang melekat dalam NU, menunjukkan bahwa ormas ini didirikan atas kesepakatan para ulama mempertahankan dan menghidupkan setiap tradisi intelektual yang dibawanya. 

Di tengah gempuran gerakan reformis yang melanda dunia Islam di abad 19, akibat pengaruh pemikiran Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang meluas hingga ke Indonesia, maka keberadaan para ulama yang secara de facto mapan dan memiliki ikatan-ikatan kultural secara kuat dengan masyarakatnya, tampak mulai terancam. 

Gerakan reformis Islam mulai mempertanyakan legitimasi para ulama dan mereka menilai para ulama bukanlah satu-satunya pemegang paling sah atas penafsiran ortodoksi Islam. Reaksi atas maraknya gerakan reformis adalah alasan paling kuat kenapa pada akhirnya pada 1926 NU lahir.


Kelahiran NU jelas memiliki akar politik, karena disamping terlibat langsung dalam proses-proses kemerdekaan, para pendirinya merupakan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang aktif dalam struktur-struktur pemerintahan, sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. 

Salah satu pendirinya, KH Hasyim Asy'ari pernah diangkat menjadi kepala jawatan agama (Shumubu) oleh pemerintahan Jepang. Putranya KH Wahid Hasyim adalah salah satu perumus Piagam Jakarta dan menjadi menteri agama pertama di era Presiden Soekarno. Keterlibatan NU dalam struktur kekuasaan politik seolah sulit jika hanya menyebut NU sebatas ormas, terlebih sejak 1952 NU berubah secara resmi menjadi partai politik.

Sangat wajar, jika dibelakang hari---bahkan hingga saat ini---jabatan kementrian agama selalu "harus" NU karena penempatan orang-orang NU didalamnya jelas memiliki akar kesejarahan yang sangat kuat. 

Tidak hanya kementrian agama, IAIN atau kampus negeri berbasiskan Islam juga pertama kali diinisiasi oleh salah satu menteri agama asal NU, Saifudin Zuhri sejak 1960-an. 

Warna "tradisionalis" di kampus IAIN---kini UIN---juga tampak mencolok melihat dari berbagai sosok rektor yang memimpinnya. Terpilihnya Amany Burhanudin Lubis sebagai satu-satunya rektor perempuan pertama dalam sejarah UIN juga tak bisa dilepaskan dengan latar kulturalnya yang memang NU.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun