Belakangan, istilah "kebangkitan ulama" mencuat menjadi isu yang menggelitik, setelah muncul fenomena "gerakan politik" yang mengatasnamakan para ulama. Para ulama yang semestinya dapat memberikan nuansa kasih sayang dan kepedulian kepada umatnya, malah terkesan saling berebut pengaruh dalam memperoleh kekuasaan.
Mereka kemudian banyak yang dikooptasi oleh gerakan-gerakan politik demi meluapkan rasa haus mereka terhadap kekuasaan, sehingga wajar jika kemudian muncul kritikan dari umatnya sendiri. Tak sedikit bahkan umat yang kecewa dan marah terhadap para ulama yang terlampau gandrung berebut pengaruh demi mengejar keuntungan kekuasaan.
Padahal, ulama dan berbagai gelar keulamaan yang tersemat dalam pribadi seseorang adalah keistimewaan dari Tuhan, karena rasa takut mereka kepada Tuhannya melebihi makhluk ciptaan-Nya yang lain. Jika sudah berebut kekuasaan, bukankah mereka tidak lagi takut kepada Tuhannya sendiri?
Ada suatu hal yang sangat kontras, ketika melihat sejarah "kebangkitan ulama" yang diinisiasi NU pada 1926 lalu dengan istilah "kebangkitan ulama" yang menjadi isu belakangan ini. Jika dulu, para ulama merasa bertanggung jawab penuh karena rasa kasih sayang yang begitu besar pada umatnya, menjaga mereka dari gempuran "pembodohan" dan kesewenang-wenangan penjajah melalui kekuatan literasi dalam bidang pendidikan, sosial-politik dan agama, maka kini istilah "kebangkitan ulama" justru setali tiga uang dengan keinginan meraih kekuasaan politik, memperoleh privilege dari kekuasaan dan membiarkan umatnya terjerembab dalam praktik "kebodohan", saling membenci, memfitnah, dan menjatuhkan demi kekuasaan yang memanjakan.
Ulama tentu saja bukan para "manajer Tuhan" yang menganggap sebagai "mandataris" Tuhan, di mana setiap keinginannya adalah cermin dari keinginan Tuhan dan apa yang dibencinya adalah selaras dengan kebencian Tuhan sendiri. Refleksi sejarah "kebangkitan ulama" yang diinisiasi NU, saya kira, perlu dijadikan pelajaran yang sangat berharga, di mana para ulama bangkit sebagai pembimbing umat, mengarahkan umat, dan meningkatkan kecerdasan umat, melalui kepedulian dan rasa kasih sayangnya terhadap umat, tidak membiarkan mereka dalam kebodohan dan perpecahan. Selama 92 tahun kelahiran NU, seharusnya menyadarkan, betapa ulama adalah mereka yang peduli pada umat, bukan memikirkan hasrat perolehan kekuasaan untuk kesenangannya sendiri.