Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ziarah Kubur di Antara Tradisi Agama dan Citra Politik

20 Januari 2018   17:53 Diperbarui: 20 Januari 2018   18:08 1573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sulit juga rasanya kita membedakan, mana sebuah ziarah kubur yang bermakna silaturrahim dengan mendoakan dan memohonkan ampunan bagi mereka yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita, dengan dorongan dan muatan niat kita untuk mendapatkan "barokah" dan mungkin saja meminta "restu" agar segala yang kita rencanakan diberikan kelancaran dan kesuksesan. Bukankah berdoa untuk segala kemudahan dan kesuksesan hidup itu mestinya langsung saja kepada Tuhan?

Akan semakin kabur lagi makna ziarah kubur jika dilakukan menjelang kontestasi politik: silaturrahim kepada "yang mati" dengan mendoakan dan memohonkan ampunan, mencari restu dan keberkahan, ataukan pencitraan karena khawatir akan sangsi sosial? Di Indonesia, tradisi ziarah kubur beserta fenomena "ngalap berkah" telah menjadi warisan tradisi turun temurun yang mengakar dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU). 

Ormas Islam terbesar ini disebut sebagai penganut tradisionalisme, karena memang penjagaannya atas nilai-nilai kultur masyarakat dan budaya Islam Nusantara hingga saat ini. 

Membedah fenomena ziarah kubur dalam tradisi NU ini juga sulit dibedakan, mana yang benar-benar memiliki tujuan "lurus" dalam berziarah, sekadar "ta'dzim" (penghormatan) atas jasa para ulama yang senantiasa berjuang demi umat, mendoakannya dan memohonkan ampunan untuknya, atau ada juga yang terkadang melampaui batas, "meminta" dan bahkan "meyakini" bahwa merekalah yang dapat mengabulkan seluruh keinginannya, termasuk keinginannya memenangi sebuah kontestasi politik.

Bagi saya, tanpa ziarah kubur sekalipun, manusia memang mahluk peziarah, tak pernah berhenti untuk bergerak dan berpindah. Bahkan, ketika tidurpun, manusia tetap bergerak, dimana jantung dan aliran darah tetap berfungsi dan bergerak sesuai jalurnya. 

Menarik dalam sebuah artikelnya, Prof Komarudin Hidayat, menyebutkan unsur manusia yang memiliki emosi, yakni "energy" dan "motion"---sebuah jiwa yang bergerak dan menggerakkan, sehingga lahir nuansa suka-duka, senang-sedih, dan banyak perasaan lain yang hadir yang senantiasa menggerakkan manusia. 

Bahkan tanpa sadar, sesungguhnya bumi yang selama ini kita pijak, selalu bergerak tak pernah diam. Ziarah kubur, barangkali adalah "motivasi" yang dapat menggerakkan, tidak hanya "yang hidup" tetapi juga "yang mati" karena doa-doa yang disampaikan oleh yang masih hidup, berdampak kepada mereka yang sudah tiada. Doalah yang dapat "menghidupkan" yang mati, bukan ziarah itu sendiri, karena doa jelas melahirkan nuansa emosi yang pada akhirnya saling terhubung dan menjalin silaturrahim.

Itulah kenapa, suasana ziarah kubur yang dilakukan para kontestan politik yang kemudian diekspose banyak media, tak lebih dari sekadar bentuk "pencitraan" berharap tak jatuh kepada mereka sangsi sosial karena melanggar hukum moral dari masyarakat. 

Lalu apa masalahnya dengan ziarah kubur? Ziarah kubur jelas tak pernah dimasalahkan, karena ajaran Islam pun mengabadikannya melalui tradisi yang berasal dari Rasulullah, hanya saja ziarah kubur yang dilakukan jelas dengan tujuan, mendoakan, memohonkan ampunan, dan bagian dari penghormatan atas jasa-jasa seseorang selama dirinya masih hidup, tak lebih! 

Jangan sampai, seakan-akan secara sadar, para kontestan malah mengeksploitasi yang sudah mati, seakan-akan dengan berziarah ke pusaranya mereka mendapat "restu" dan "dukungan" dari mereka. 

Pertanyaannya, jika memang para kontestan politik ini tidak melakukan ziarah kubur kepada orang-orang tertentu, akankah gugur pencalonannya? Atau gagalkah nanti dalam ajang kontestasi politik? Disinilah uniknya politik, tidak ramai di dunia nyata, dunia maya, bahkan mungkin dunia alam ghaib!       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun