Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gagalnya "Islam Politik" dan Kekecewaan Alumni 212

12 Januari 2018   17:10 Diperbarui: 12 Januari 2018   17:15 2509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: Serambi Indonesia - Tribunnews.com

Kelompok yang menginisiasikan dirinya dengan atribusi 212, belakangan tampak semakin terpecah-pecah, ada yang konsisten di gerakan politik, dan ada yang kembali ke jalur sebelumnya, lebur kedalam gerakan-gerakan sosial-keagamaan. 

Mereka yang masuk dalam wadah "alumni" tampaknya keukeuh memperjuangkan aspirasi politik mereka melalui jalur-jalur parpol resmi atau dengan mengusung beberapa kandidat pilihan mereka agar dapat terakomodasi dalam ajang kontestasi politik. 

Bagi mereka yang tidak mengidentifikasikan dirinya dengan "alumni", cenderung melebur dengan ormas-ormas keagamaan yang ada dan tak terlalu merisaukan soal kekuasaan politik. Gerakan yang sempat menguat dua tahun belakangan ini, sulit untuk tidak dikatakan, memang berasal dari beberapa ormas Islam yang ada di Indonesia.

Kegagalan Islam politik yang dibawa oleh gerakan ini, lebih disebabkan ketidaksepahaman para tokoh penggerak internalnya. Tak ada kesamaan ideologi politik---terutama dalam hal formalisasi dan substansi kepolitikan Islam---semakin membuat gerakan ini tampak berantakan. Salah satu tokoh penggeraknya, Habib Rizieq Shihab, bahkan tampak nyaman dengan pengasingannya selama ini di Tanah Suci. Keberadaannya di Mekkah, tidak saja membuat gerakan-gerakan "Islam politik" tak jelas arah, bahkan dalam banyak hal, tampak terpecah-belah. 

Saya kira, kelompok yang menginisiasi atribusi 212, merupakan mereka yang concern untuk menggagas formalisme Islam dalam segala hal, termasuk kekuasaan politik. Hal ini tampak jelas, dari ungkapan kekecewaannya terhadap beberapa parpol yang diharapkan dapat mendukungnya secara "formal", malah tak mampu mengakomodasi kecenderungan politik mereka.

Tokoh utama lainnya dalam gerakan 212 ini, Bahtiar Nasir, semakin kehilangan pendukung, terlihat dari beberapa kali safari dakwahnya yang seringkali mendapatkan penolakan umat muslim. Kecenderungannya yang kuat terhadap formalisme Islam justru semakin menjauhkan dirinya dari ormas Muhammadiyah, tempat selama ini dirinya bernaung. 

Popularitas Bahtiar, tentu saja merupakan bagian dari intrik politik dirinya agar mendapatkan suara warga Muhammadiyah dan mendapat simpati untuk dapat menduduki posisi strategis di ormas Islam terbesar ini. Saya kira, Muhammadiyah sebagai ormas Islam moderat, juga tak akan memberi tempat bagi gerakan-gerakan "formalisme" Islam, karena bagaimanapun, gerakan seperti ini dikhawatirkan akan mengganggu keutuhan sebuah ideologi negara.

Sepanjang pengetahuan saya, atribusi 212 yang kemudian diwadahi dalam bentuk gerakan alumninya, saat ini lebih kental nuansa formalisme Islam politik, tidak berada dalam ruang lingkup gerakan "kultural". Itulah kenapa, beberapa aktor penggeraknya, sepertinya selalu "memaksakan diri" agar dapat terakomodasi dalam ruang-ruang formal politik kekuasaan. Bukan tidak mungkin, bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan juga mendapat sokongan dari beragam partai politik, yang tentu saja memiliki kesamaan "ideologi politik" dengan mereka. Bagi saya, formalisme Islam---termasuk dalam hal politik---akan sulit diterima oleh sebagian besar masyarakat muslim, karena Islam Indonesia sejauh ini terbentuk oleh beragam realitas kutlural.

Bukan sebuah kebetulan, bahwa Habib Rizieq yang selama ini dianggap sebagai motor penggerak beragam aksi umat muslim, nampaknya juga lebih cenderung memperteguh "politik Islam" ketimbang "Islam politik". 

Politik Islam yang dimaksud tentunya saja lebih berwajah kultural dan menjauhi praktik-praktik ke arah "formalisme" Islam yang bersifat politik. Hal ini senada dengan ungkapan Rizieq Shihab ketika acara peringatan setahun Aksi Bela Islam di Masjid Al-Azhar, Jakarta. Melalui rekamannya, Rizieq menyatakan, agar umat muslim berjuang secara konstitusional dengan berpolitik, namun tak harus menjadi kader salah satu partai politik.

Terdapat perbedaan yang cukup banyak diantara para aktor yang menggagas aksi-aksi umat muslim di Jakarta, sehingga berdampak langsung pada perbedaan pola gerakan yang pada akhirnya diwujudkan. Kekuatan politik yang tergabung dalam wadah alumni-pun tampaknya tak seluruhnya diamini oleh Habib Rizieq, sehingga tampak jelas menunjukkan pola gerakan yang sangat jauh berbeda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun