Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang-orang "Sakit" di Pusaran Kekuasaan

27 Oktober 2017   09:39 Diperbarui: 27 Oktober 2017   09:50 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kekuasaan politik rentan sekali tercemar praktik korupsi. Entah apakah dari sistem rekruitmen pemimpinnya yang membuka celah begitu lebar menuju akses koruptif ini ataukah memang mentalitas pemimpinnya yang memang sudah sakit. Belakangan semakin banyak orang-orang sakit di pusaran kekuasaan, walaupun secara jasmani terlihat segar bugar. Saya bahkan berasumsi, mereka yang punya akses untuk mengusung para pemimpin secara sah, juga sebenarnya paham, bahwa yang mereka jadikan pemimpin sudah terindikasi sakit, tetapi karena desakan kebutuhan ekonomi dan gengsi, tetap saja mereka memeliharanya demi meraup berbagai macam keuntungan keekonomian.  

Korupsi bukan hanya sekadar dorongan nafsu untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain, bukan pula karena tuntutan "utang kepolitikan" yang harus disetor akibat kursi kekuasaan yang difasilitasi oleh para pendukung dirinya selama berkuasa. Praktik kuno ini sebenarnya merupakan penyakit yang menimpa seseorang ketika dirinya berada ditengah arus pusaran kekuasaan. Saya yakin, koruptor secara fisik adalah orang-orang sehat, lihat saja ketika terkena OTT oleh KPK, mereka tampak senyum bergembira menyatakan bahwa dirinya benar-benar dalam keadaan sehat. Hampir tak ada koruptor yang tertangkap kemudian menangis, menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada semua pihak yang telah dirugikan oleh dirinya. Yang ada malah sebisa mungkin melakukan jalur hukum agar dirinya terbebas dari segala tuntutan hukum.

Baru-baru ini, Bupati Nganjuk yang terkena OTT KPK tampak tersenyum lebar, menyapa para wartawan, berjalan dengan tenang ditengah kerumunan hampir tak terlihat sedikitpun raut muka penyesalan dalam dirinya. Bahkan, tak jauh berbeda ketika KPK melakukan hal yang sama kepada koruptor lain, para "raja kecil" di daerah yang selalu tampak gembira ketika ditampilkan di depan publik. Bisa saja mereka berpikir, "ah, korupsi kan dihukum gak lama, toh uang yang sudah saya pergunakan juga sudah cukup, lagi pula masih banyak simpanan yang lain". Entah apakah mungkin koruptor ingin menyembunyikan kesedihannya dengan raut wajah kegembiraan, ataukah memang mereka sedang sakit. Bagi saya, koruptor adalah orang-orang yang sakit, walaupun secara fisik mereka terlihat sehat. Anda boleh setuju atau tidak, karena bagi saya, korupsi merupakan penyakit.

Jika merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa penyakit adalah "kebiasaan yang buruk; sesuatu yang mendatangkan keburukan". Saya yakin, korupsi merupakan penyakit, karena praktik ini jelas merupakan kebiasaan buruk dan parahnya banyak mendatangkan keburukan, tak hanya bagi diri sendiri, keluarganya juga orang lain. Parahnya lagi, korupsi bisa dikategorikan penyakit menular, karena terbukti penyakit ini menjalar pada mereka yang punya akses dalam kekuasaan. Ini artinya, penyakit korupsi bukanlah penyakit yang menyebabkan gangguan pada kesehatan secara fisik, tetapi mengganggu kesehatan terhadap mental seseorang. Suatu kebiasaan buruk ketika dilakukan berulang-ulang, tampak menjadi kebiasaan "baik" bagi dirinya, bahkan dianggapnya bukan penyakit, karena toh dirinya tetap merasa sehat.

Dulu, orang tua kita seringkali mengajarkan sikap-sikap terpuji yang tak jarang berdampak dalam rentang waktu cukup panjang, terhindar dari penyakit koruptif. Sewaktu kecil, saya dulu pernah nyolong mangga milik orang lain dari pohonnya, walaupun hanya tiga buah. Mangga itu kemudian saya bawa pulang ke rumah, tetapi bagaimana reaksi orang tua? Bapak saya bertanya, darimana mangga itu? Setelah Bapak tahu mangga itu bukan dari hasil beli, tapi hasil nyolong, maka spontan Bapak menyuruh saya menunjukkan dimana tempat saya nyolong mangga tersebut. Saya kemudian disuruh meminta maaf kepada pemiliknya dan membayar sejumlah uang sebagai ganti atas mangga yang saya ambil tanpa izin. Namun si pemilik memberikan kepada saya secara ikhlas, dan tentu saja dengan senang hati menerima permohonan maaf saya.

Mental nyolong barangkali adalah kebiasaan buruk yang memang dipelihara sejak masih kecil, dibiarkan dan pada akhirnya menjadi penyakit yang sukar sekali disembuhkan. Saya menganggap, dampak dari pemutusan mata rantai kebiasaan nyolong, akan dirasakan setelah dewasa dan terhindar dari penyakit korupsi yang di era milenial ini semakin menjadi tren bagi mereka yang ada dalam pusaran kekuasaan. Bagi saya, orang tua justru seharusnya mampu mengarahkan anak-anaknya untuk mampu berbudaya jujur, mau meminta maaf, bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya dan selalu menyadari setiap kesalahan yang dilakukan. Mentalitas korup bisa saja terbentuk karena kebiasaan yang dilakukan para koruptor semenjak dirinya masih kecil.

Bagi saya, ketika gambaran orang-orang yang melakukan korupsi justru tampak gembira dihadapan publik, benar-benar penyakit yang sangat mematikan. Bukan mematikan tubuh sehat dirinya, tapi mematikan nurani dan akal sehatnya. Bukankah ketika orang lain dirugikan, disengsarakan, bahkan disakitkan oleh seorang koruptor, tetapi dirinya tetap senang, tenang dan riang gembira, ini perwujudan dari kebiasaan orang-orang sakit? Yakin mereka sehat? Meminta jatah kepada pihak lain yang tak ada urusannya dengan pekerjaannya, terlebih berbuat curang yang penting dapat keuntungan, bukankah sebuah pekerjaan yang dilakukan orang sakit, bukan orang sehat? Ya, sejauh ini orang banyak melihat secara fisik, ukuran sehat selalu dikaitkan dengan senyum, sumringah, tertawa, segar-bugar, padahal ukuran sehat seharusnya mencakup fisik sekaligus non-fisik.

Orang-orang sakit di pusaran kekuasaan semakin banyak, tak hanya sebatas perbuatan korup, tetapi juga mereka yang dengan mudahnya memfitnah, membenci bahkan tiba-tiba menuduh dengan keji hanya karena perbedaan sikap dan pendapat yang diutarakannya. Ketika mereka ada dalam pusaran kekuasaan, tampak merasa diatas angin, ngoceh soal apa saja merasa paling berhak, bahkan dianggap sebuah kebenaran yang tak dapat dibantah. Lihat saja, pidato salah satu penguasa di Lampung yang ngoceh di acara Hari Santri Nasional, menyinggung soal jenggot yang dituduhkan kepada salah satu pimpinan ormas Islam. Padahal, soal jenggot hanyalah perbedaan pendapat yang tak memiliki makna sama sekali untuk diperdebatkan. Jenggot hanyalah aksesoris, bagi yang suka atau tidak, bukan hal yang patut dipertentangkan.

Sampai hari ini saya belum memahami, apa sebab mereka yang berada di pusaran kekuasaan banyak yang sakit. Padahal, kekuasaan seharusnya sehat, karena jelas akan berimbas pada sehatnya masyarakat yang mereka kuasai. Namun sebaliknya, sulit dibayangkan ketika banyak orang-orang di pusaran kekuasaan sakit, maka mereka akan membawa penyakit menular kepada orang lain yang dulunya menyokong dirinya ketika berkuasa. Anehnya, masyarakat yang jelas tahu mereka sedang sakit, justru semakin diolok-olok, dijatuhkan, dinistakan, bukannya dirangkul, dinasehati atau diberitahu dengan kritik yang lebih sehat. Hidup memang pilihan, sehat adalah keniscayaan, sedangkan sakit justru harus dihindarkan. Tetapi kenapa banyak orang yang memilih lebih baik sakit daripada sehat? Sehat, bukan hanya secara fisik melalui ukuran jasmani yang terasa fit dan segar, tetapi selain itu, penting mengukur kesehatan melalui ruhani kita, hati kita, cara pandang kita dan seluruh aspek kejiwaan kita agar tersadarkan tidak menyakiti, merugikan atau mendiskreditkan orang lain. Mari hidup sehat, baik jasmani maupun ruhani.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun