Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Sekadar Akulturasi, Islam adalah "Produk Budaya"

6 Oktober 2017   11:51 Diperbarui: 6 Oktober 2017   12:03 1627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu yang lalu, saya berdiskusi dengan beberapa kawan menyoal "Islam dan Akulturasi Budaya" yang sejatinya akan dijadikan bahan orasi budaya pada acara Kidung Syukur Nusantara, sebuah pagelaran seni suara yang diinisiasi oleh Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Jakarta. Kegiatan yang akan digelar pada hari Minggu, 8 Oktober di Auditorium Harun Nasution, UIN Jakarta ini sedianya merupakan suatu rangkaian dengan seminar nasional yang akan membahas soal budaya Islam Nusantara. Namun, karena waktunya yang kurang memungkinkan, maka hanya pementasan paduan suara dan orasi budaya yang akan ditampilkan. Rencananya, saya sendiri yang akan mengisi orasi budaya ditengah-tengah pagelaran seni paduan suara di UIN lusa nanti.

Dalam banyak hal, orasi budaya biasanya dikemas secara resmi dan diisi oleh seseorang yang memang concern dalam bidang seni dan budaya. Paling tidak, sebutan "budayawan" sudah harus melekat pada seseorang yang hendak melakukan orasi tersebut. Sempat seorang kawan melontarkan ide, "namamu pake aja 'kiai mbeling' sebagai embel-embel". Barangkali embel-embel itu akan lebih "menjual" kepada khalayak, meskipun saya menolaknya. Istilah "kiai mbeling" saya kira sudah disematkan kepada Emha Ainun Najib (Cak Nun) seorang budayawan kawakan yang sudah dikenal sejak masa Orde Baru. Kawan lain malah menyela, "Ya, kalau sudah dipake Cak Nun, sampean pake aja Cak Mim atau Cak Wau". Bagi yang mengerti huruf Arab Hijaiyyah, posisi "nun" tentu saja setelah "mim" dan setelah "wau", sebuah obrolan berbudaya yang semakin menarik.

Huruf-huruf hijaiyyah yang dimulai dari "alif" sampai "ya" merupakan produk budaya Arab yang sudah ada jauh sebelum agama itu muncul. Jadi, saya berkesimpulan, bahwa budaya lebih dulu lahir dari agama dan kemudian agama mengadopsinya menjadi bagian dari "budaya" yang melekat dalam sejarah masyarakat. Jika ditelusuri lebih jauh, huruf-huruf hijaiyyah yang ada dalam tradisi dan budaya Arab, sebelumnya tak ada satupun yang diberi "titik" maupun "harakat" alias "gundul". Lalu, ketika diturunkan kitab suci Al-Quran kepada bangsa Arab, atas kepentingan akulturasi budaya, huruf demi huruf yang ditulis dalam Al-Quran, diberi tambahan "titik" dan "harakat" sehingga siapapun yang awam membacanya, akan lebih mudah membunyikannya. Saya membayangkan, alangkah sulitnya jika Al-Quran benar-benar ditulis dalam huruf Arab "gundul", mungkin bahasa Arab akan sulit dipahami dan bahkan punah dilindas oleh budaya lainnya.

Kitab suci Al-Quran yang sejauh ini kemudian sampai kepada umat muslim di seluruh dunia jelas telah melakukan "akulturasi budaya" tidak semata-mata sebagai sebuah kalam Tuhan yang berdiri sendiri, karena Al-Quran terus menerus berdialog semenjak diturunkannya dengan tradisi bangsa Arab. Seandainya kitab suci umat muslim ini tidak ditulis dalam bahasa Arab, maka niscaya bahasa dan budaya Arab akan punah, lekang dimakan zaman dan lapuk dilindas waktu. Inilah salah satu keistimewaan Al-Quran, sebagai "produk budaya" yang disucikan oleh seluruh umat muslim, sehingga bentuk apapun yang dianggap merendahkan atau melecehkan kitab suci ini, jelas akan mendapatkan perlawanan yang begitu besar dari seluruh umat muslim.

Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan yang dibekali Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia, juga tak lepas dari berbagai proses akulturasi budaya. Di awal-awal masa kenabiannya, Muhammad tentu saja seorang pribadi yang selalu gelisah melihat bangsa Arab yang sulit "dibudayakan" karena cara hidup mereka yang serba "jahiliyah". Keseharian Nabi Muhammad yang senang menyendiri untuk "bertahannuts" di sebuah gua di kawasan Jabal Nur adalah proses penataan dirinya agar dapat menyuntikkan budaya yang baik dan tercerahkan kepada bangsanya sendiri. Proses penyempurnaan budaya Arab oleh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, jelas bukan proses yang instan. Lebih dari 22 tahun, Nabi Muhammad sukses membawa bangsa Arab lebih beradab dan tercerahkan tanpa ada pertentangan budaya yang berarti dari dalam masyarakatnya sendiri.

Sepanjang yang saya tahu dari berbagai bacaan sejarah, Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad, senantiasa bersikap toleran terhadap berbagai tradisi dan budaya yang telah mewujud dalam bangsa Arab. Islam berevolusi secara damai dengan berbagai kenyataan budaya yang ada, tanpa sedikitpun mempertentangkannya. Bahkan, Islam memberikan ruh moralitas yang berkeadaban disesuaikan dengan nilai-nilai dan tradisi bangsa Arab waktu itu. Sebut saja soal budaya memiliki istri lebih dari satu yang telah mentradisi dalam bangsa Arab, Islam justru mengurangi hanya sebatas empat saja, tanpa menghapus secara revolusioner kebudayaan yang telah lama ada. Islam, dengan demikian, sukses meninggalkan jejak-jejak peradaban yang luhur tanpa harus secara frontal memberangus seluruh tradisi dan budaya masyarakat Arab.

Jika dipahami bahwa budaya suatu masyarakat lebih dulu terbentuk dari pada agama, maka proses akulturasi budaya dan agama jelas sebuah keniscayaan. Agama---termasuk Islam---pada akhirnya menjadi sebuah "produk budaya" karena sekian lama berinteraksi dengan tradisi maupun nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai dari "produk budaya", Islam tentu saja masih menyisakan budaya setempat yang seringkali diadopsi pihak lain sebagai bagian dari budaya Islam itu sendiri. Jubah, baju gamis, turban bahkan memelihara jenggot, dianggap oleh sebagaian orang sebagai "budaya Islam" walaupun pada kenyataannya hal itu merupakan sisa-sisa akulturasi budaya antara Islam dengan bangsa Arab. Padahal, nilai-nilai Islam yang universal berupa ajaran moral dan kebaikan, atau mengikuti tradisi yang baik seringkali luput dalam aktualisasinya.

Kenyataan Islam sebagai "produk budaya" juga dirasakan di Indonesia, terlepas dari pertentangan beragam pendapat soal kapan, bagaimana dan siapa yang menyebarkan Islam pertama kali di Nusantara. Sulit untuk dipungkiri, bahwa Islam sebagai ajaran moral dan kebajikan telah berakulturasi dengan budaya setempat, bahkan memberikan kekhasan yang jauh berbeda dengan Islam yang hadir di Arab. Karena Islam Nusantara hadir ditengah-tengah tradisi dan budaya Hindu-Budha, maka tak heran ketika "nuansa mistik" terasa kental karena sisa-sisa dari tradisi pendahulunya yang telah mewujud dalam masyarakat. Lalu, haruskah Islam kemudian dipaksa harus sama dengan Arab? Saya kira tidak, karena Islam di Arab-pun tak pernah memaksakan dirinya untuk bisa selaras dengan tradisi atau budaya yang sebelumnya mewujud, yaitu budaya "jahiliyah".

Kita tentu akan menyaksikan begitu maraknya nuansa Islam yang dibalut dengan tradisi dan budaya masyarakat yang sedemikian beragam, memiliki kekhasannya tersendiri diselaraskan dengan adat dan budaya setempat. Islam Arab, Cina, Eropa, Amerika atau Mesir pasti memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda antara satu dengan lainnya. Islam saat ini sudah mewujud menjadi "produk budaya" menyesuaikan dengan tradisi masyarakat setempat, tanpa sedikitpun menuai pertentangan. Segala pemaksaan yang harus diselaraskan dengan budaya Arab, justru kegilaan dan jelas ahistoris, mengingat Islam yang pertama kali lahir di Arab-pun tak pernah sama sekali bertentangan dengan budaya. Islam akan selalu menyesuaikan dengan budaya apapun, mengisinya dengan nilai-nilai moral kemanusiaan yang luhur, sebagaimana peran Nabi Muhammad yang menjadikan citra bangsa Arab lebih beradab, terlepas dari kungkungan kebodohan dan ketertinggalan dari bangsa-bangsa lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun