Membaca #BoikotTrans7 dengan Etika Akuntabilitas
Ada hal yang lebih penting dari sekadar permintaan maaf: yaitu kesadaran siapa yang bertanggung jawab. Kasus #BoikotTrans7 bukan hanya soal tayangan televisi yang kelewat batas, tapi tentang bagaimana sebuah institusi modern sering kehilangan kemampuan paling manusiawi---menanggung akibat dari tindakannya sendiri.
Kita sudah berkali-kali menyaksikan bentuk klasik dari tragedi tanggung jawab kolektif: banyak tangan, tapi tak ada yang memegang bara. Dalam segmen Xpose Uncensored Trans7, gambaran tentang kehidupan santri dan pesantren disajikan dengan cara yang sembrono, bahkan menghina. Santri ditertawakan, kiai dijadikan karikatur. Setelah ribut, muncul pernyataan klise: "Kami khilaf. Kami tidak bermaksud menyinggung."
Tapi siapa "kami"? Produser? Editor? Manajemen? Atau lembaga penyiaran itu sendiri?
Di sinilah teori dari artikel Responsibility and Accountability in an Algorithmic Society menjadi relevan. Penulisnya menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern---apalagi yang bekerja lewat sistem besar seperti media dan algoritma---tanggung jawab pribadi tidak cukup. Kita perlu sesuatu yang disebut "buck-stopping accountability": titik henti tanggung jawab yang jelas, agar kesalahan kolektif tidak menguap di udara.
Dalam bahasa sederhana, harus ada seseorang, atau sekelompok orang, yang berkata: "Kami memikul akibat ini."
Bukan karena mereka jahat, tetapi karena mereka memegang kuasa dan kewenangan yang menciptakan sistem itu.
Sayangnya, yang sering terjadi justru sebaliknya. Dalam setiap kegaduhan publik, korporasi bersembunyi di balik jargon teknis: human error, miscommunication, system failure.
Begitu pula Trans7---mereka mengaku lalai dalam proses editorial, seolah-olah masalahnya hanyalah bug teknis, bukan luka kultural. Padahal yang dilukai bukan prosedur, tapi martabat pesantren: ruang yang selama ratusan tahun menjadi benteng akhlak bangsa.
Artikel itu mengingatkan kita bahwa praktik akuntabilitas institusional berbeda dari tanggung jawab moral pribadi.
Orang yang tidak bersalah secara moral bisa---dan harus---tetap akuntabel secara profesional.
Seorang pilot bisa tidak bersalah karena badai, tetapi maskapai tetap bertanggung jawab kepada penumpang.
Begitu juga media: jurnalisnya bisa keliru, tapi institusinya tetap harus menanggung akibat, karena sistem redaksinya gagal melindungi nilai publik yang dilayaninya.