Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Siapa Bertanggung Jawab atas Luka Pesantren

17 Oktober 2025   09:11 Diperbarui: 17 Oktober 2025   09:11 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kasus trans7. (Gambar dibuat dengan AI)

Membaca #BoikotTrans7 dengan Etika Akuntabilitas

Ada hal yang lebih penting dari sekadar permintaan maaf: yaitu kesadaran siapa yang bertanggung jawab. Kasus #BoikotTrans7 bukan hanya soal tayangan televisi yang kelewat batas, tapi tentang bagaimana sebuah institusi modern sering kehilangan kemampuan paling manusiawi---menanggung akibat dari tindakannya sendiri.

Kita sudah berkali-kali menyaksikan bentuk klasik dari tragedi tanggung jawab kolektif: banyak tangan, tapi tak ada yang memegang bara. Dalam segmen Xpose Uncensored Trans7, gambaran tentang kehidupan santri dan pesantren disajikan dengan cara yang sembrono, bahkan menghina. Santri ditertawakan, kiai dijadikan karikatur. Setelah ribut, muncul pernyataan klise: "Kami khilaf. Kami tidak bermaksud menyinggung."

Tapi siapa "kami"? Produser? Editor? Manajemen? Atau lembaga penyiaran itu sendiri?

Di sinilah teori dari artikel Responsibility and Accountability in an Algorithmic Society menjadi relevan. Penulisnya menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern---apalagi yang bekerja lewat sistem besar seperti media dan algoritma---tanggung jawab pribadi tidak cukup. Kita perlu sesuatu yang disebut "buck-stopping accountability": titik henti tanggung jawab yang jelas, agar kesalahan kolektif tidak menguap di udara.

Dalam bahasa sederhana, harus ada seseorang, atau sekelompok orang, yang berkata: "Kami memikul akibat ini."
Bukan karena mereka jahat, tetapi karena mereka memegang kuasa dan kewenangan yang menciptakan sistem itu.

Sayangnya, yang sering terjadi justru sebaliknya. Dalam setiap kegaduhan publik, korporasi bersembunyi di balik jargon teknis: human error, miscommunication, system failure.

Begitu pula Trans7---mereka mengaku lalai dalam proses editorial, seolah-olah masalahnya hanyalah bug teknis, bukan luka kultural. Padahal yang dilukai bukan prosedur, tapi martabat pesantren: ruang yang selama ratusan tahun menjadi benteng akhlak bangsa.

Artikel itu mengingatkan kita bahwa praktik akuntabilitas institusional berbeda dari tanggung jawab moral pribadi.
Orang yang tidak bersalah secara moral bisa---dan harus---tetap akuntabel secara profesional.

Seorang pilot bisa tidak bersalah karena badai, tetapi maskapai tetap bertanggung jawab kepada penumpang.

Begitu juga media: jurnalisnya bisa keliru, tapi institusinya tetap harus menanggung akibat, karena sistem redaksinya gagal melindungi nilai publik yang dilayaninya.

Itu sebabnya permintaan maaf dari Trans7 terasa setengah hati. Ia menyentuh rasa bersalah, tapi tidak menyentuh akar tanggung jawab. Ia menenangkan kemarahan publik, tapi belum menata ulang sistem yang memungkinkan pelecehan kultural itu terjadi.

Yang dibutuhkan bukan sekadar "minta maaf," tetapi membangun ulang kesadaran etik di tubuh media, terutama yang menyentuh wilayah keagamaan dan budaya.

Kemarahan publik---dalam bentuk tagar #BoikotTrans7---adalah bentuk tanggung jawab moral masyarakat.

Ia menandakan bahwa nurani sosial kita masih hidup, bahwa kita masih mampu menolak penghinaan terhadap yang suci.

Namun kemarahan tidak cukup. Ia harus diterjemahkan menjadi mekanisme akuntabilitas yang nyata: evaluasi redaksi, revisi standar penyiaran, dan pelibatan komunitas pesantren dalam setiap konten yang menyinggung mereka.

Kita tidak sedang mencari kambing hitam. Kita sedang mencari titik henti tanggung jawab---agar lembaga penyiaran tidak menjadikan pekerjanya sebagai tameng, dan agar publik tahu ke mana harus menuntut perbaikan.

Akhirnya, kasus ini mengajarkan bahwa dalam masyarakat yang semakin algoritmik dan terotomatisasi, tanggung jawab tidak boleh ikut diprogram untuk lenyap.

Sistem boleh rumit, tapi nilai harus sederhana: yang memegang kuasa, memikul akibat.

Jika Trans7 belajar dari itu, mungkin permintaannya maafnya kelak bukan lagi sekadar formalitas, melainkan bagian dari etika baru: etika untuk tidak lari dari akibat.

Referensi

Fleisher, W., Cibralic, B., Basl, J. et al. (2025). Responsibility and Accountability in an Algorithmic Society. Philosophy & Technology, 38(4). https://doi.org/10.1007/s13347-025-00970-w

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun