Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Konflik Sosial dan Bayangan Hukum di Balik Kasus Yai MIM - Sahara

6 Oktober 2025   11:44 Diperbarui: 6 Oktober 2025   11:44 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot dari channel Youtube. (Sumber: Youtube.com/@RasisInfotainment)

Ia juga menyoroti efek sosial dari fitnah dan ujaran kebencian yang bisa menjalar menjadi tindakan nyata, seperti pengusiran seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya. Padahal, tindakan semacam itu dapat menimbulkan pelanggaran hak sipil dan berpotensi menjadi kasus pidana baru.

Keadilan Bagi Semua, Tanpa Lihat Gelar

Satu hal yang menarik dalam pandangan Deoliva adalah penolakannya terhadap budaya "kekebalan simbolik". Ia mengingatkan bahwa gelar keagamaan, jabatan sosial, maupun reputasi intelektual tidak memberi hak istimewa di depan hukum. "Kalau dia melanggar hukum, ya tetap ditangkap. Mau profesor, ustaz, atau siapa pun," ujarnya.

Prinsip equality before the law---setiap orang sama di mata hukum---adalah pondasi negara hukum yang seharusnya dijaga. Kasus ini menjadi pengingat bahwa bahkan mereka yang berilmu agama tinggi pun tidak kebal dari proses hukum bila terbukti melakukan pelanggaran.

Pelajaran dari Sebuah Sengketa

Di akhir wawancara, Deoliva Yumara menegaskan bahwa akar dari segala kekisruhan ini adalah gagalnya komunikasi dan musyawarah warga. Bila masyarakat mampu menghidupkan kembali semangat guyub dan rasionalitas dalam menyelesaikan konflik, banyak perkara hukum bisa dicegah sebelum sampai ke kepolisian.

"Menang jadi arang, kalah jadi abu," katanya mengutip pepatah lama. Dalam konflik sosial, baik pihak yang menang maupun kalah sama-sama kehilangan ketenangan.

Kasus Yai Mim dan Sahara bukan hanya cerita tentang sengketa lahan atau fitnah digital, tetapi refleksi tentang bagaimana hukum bekerja di tengah masyarakat yang mudah terbakar isu. Ia menuntut kedewasaan sosial: agar setiap warga belajar membedakan antara hak berekspresi dan pelanggaran hukum, antara pembelaan diri dan penyerangan pribadi, antara kebenaran dan sensasi.

Ketika rasionalitas digantikan oleh emosi, hukum pun kehilangan daya restoratifnya. Dan pada titik itulah, hukum bukan lagi alat keadilan, melainkan cermin dari kekacauan sosial yang kita ciptakan sendiri.

Sumber:

Wawancara Rasis Infotainment bersama Deoliva Yumara, "Analisa Deoliva Prihal Yai Mim Alami Intimidasi! Masalah Tanah & Fitnah Seksual oleh Sahara."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun