Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Monkey Business dan Ekonomi Iba: Ketika Kesedihan Jadi Komoditas

5 Oktober 2025   06:34 Diperbarui: 5 Oktober 2025   06:34 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi macam komoditas monkey business. (Gambar dibuat dengan AI)

Dulu orang bisa ditipu lewat ikan louhan. Sekarang, orang bisa ditipu lewat air mata.
Kalau dulu batu akik jadi komoditas mimpi, kini giliran kesedihan digital yang diperdagangkan. Dunia berubah, tapi pola tipunya tetap: memanfaatkan rasa ingin cepat kaya, atau kini---rasa ingin cepat dipercaya.

Monkey Business di Era Baru

Dalam istilah klasik, monkey business berarti bisnis tipu-menipu yang dikemas seolah nyata. Barangnya bisa berupa benda fisik---tanaman janda bolong, ikan jenong, batu akik---atau benda gaib seperti "data investasi", "foto NFT", hingga "doa digital". Semua terlihat sah di permukaan, tapi nilainya rapuh: begitu tren surut, harga lenyap, dan sisanya hanyalah penyesalan.

Kini, monkey business bermetamorfosis menjadi bentuk yang lebih halus dan lebih berbahaya: perdagangan emosi di dunia digital.

Kita hidup di masa di mana konflik pribadi bisa disulap jadi konten publik, di mana setiap air mata bisa menjadi sumber traffic, dan di mana penderitaan bisa dimonetisasi menjadi AdSense.

Dari Sengketa Jadi Sinetron

Kasus Yai MIM dan Sahara adalah contoh paling segar dari ekonomi emosi ini.
Sebuah persoalan pribadi---seputar perumahan dan relasi antarindividu---mendadak jadi tontonan nasional. TikTok dan YouTube berebut menayangkan potongan video paling emosional: tangisan, tuduhan, klarifikasi, ancaman.
Bukan karena publik peduli kebenaran, tapi karena drama laku keras di pasar algoritma.

Dalam ekonomi lama, nilai ditentukan oleh kelangkaan barang.
Dalam ekonomi baru, nilai ditentukan oleh kepekatan air mata.

Siapa yang lebih pandai membentuk citra korban, dialah yang akan menang di ruang komentar.
Dan siapa yang lebih viral, dialah yang akan menang di ruang ekonomi.

Iba Sebagai Bisnis

Inilah monkey business versi baru: bukan menjual barang, tapi menjual iba.
Para content creator tahu betul bahwa rasa belas kasihan manusia bisa diolah menjadi uang. Maka penderitaan ditata dengan pencahayaan yang bagus, musik latar lembut, dan judul video penuh kata "haru" dan "doakan".

Iba bukan lagi rasa, melainkan alat promosi.
Korban bukan lagi manusia, melainkan brand awareness.

Ironinya, publik pun ikut bersalah. Kita menonton, membagikan, dan berkomentar, seolah ikut menegakkan keadilan. Padahal yang kita tegakkan adalah engagement rate.
Kita pikir sedang berempati, padahal hanya sedang menguntungkan mesin iklan.

Podcast dan Peradilan Algoritma

Platform seperti YouTube dan podcast kini menjadi pengadilan digital tanpa hakim.
Orang datang untuk "klarifikasi", tapi sebenarnya sedang melakukan rebranding.
Yang penting bukan fakta, melainkan bagaimana narasi dikemas.
Kata yang tidak diucapkan bisa lebih menentukan daripada yang diucapkan.
Air mata yang jatuh di detik ke-13 video bisa lebih berharga daripada bukti hukum.

Bahkan pembatalan tayangan pun kini bisa dijadikan strategi promosi.
Semakin ditahan, semakin ditunggu.
Semakin dilarang, semakin dicari.
Keadilan berubah menjadi cliffhanger.

 Akal Sehat Digital

Dalam situasi ini, satu-satunya pertahanan kita hanyalah akal sehat digital.
Sebelum menekan tombol subscribe, kita perlu bertanya:
Apakah ini perjuangan, atau pertunjukan?
Apakah ini kebenaran, atau sekadar konten yang dikurasi dengan algoritma emosi?

Karena sebenarnya, monkey business tak pernah benar-benar hilang.
Ia hanya berganti wajah.
Dulu menipu lewat batu akik, sekarang lewat belas kasihan.
Dulu memanipulasi harga pasar, sekarang memanipulasi perasaan manusia.

Penutup

Kita hidup di zaman di mana semua hal bisa dijual---termasuk kesedihan.
Dan yang paling laku di pasar digital hari ini bukan kebahagiaan,
melainkan air mata yang viral.

Jadi, kalau ada yang datang dengan wajah iba sambil berkata "dukung aku, tonton videoku,"
ingatlah: bisa jadi yang mereka jual bukan cerita, tapi dirimu sebagai penonton yang mudah tersentuh.

Karena dalam bisnis monyet era digital, yang paling sering ditipu bukanlah orang lain,
melainkan akal sehat kita sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun