Platform seperti YouTube dan podcast kini menjadi pengadilan digital tanpa hakim.
Orang datang untuk "klarifikasi", tapi sebenarnya sedang melakukan rebranding.
Yang penting bukan fakta, melainkan bagaimana narasi dikemas.
Kata yang tidak diucapkan bisa lebih menentukan daripada yang diucapkan.
Air mata yang jatuh di detik ke-13 video bisa lebih berharga daripada bukti hukum.
Bahkan pembatalan tayangan pun kini bisa dijadikan strategi promosi.
Semakin ditahan, semakin ditunggu.
Semakin dilarang, semakin dicari.
Keadilan berubah menjadi cliffhanger.
 Akal Sehat Digital
Dalam situasi ini, satu-satunya pertahanan kita hanyalah akal sehat digital.
Sebelum menekan tombol subscribe, kita perlu bertanya:
Apakah ini perjuangan, atau pertunjukan?
Apakah ini kebenaran, atau sekadar konten yang dikurasi dengan algoritma emosi?
Karena sebenarnya, monkey business tak pernah benar-benar hilang.
Ia hanya berganti wajah.
Dulu menipu lewat batu akik, sekarang lewat belas kasihan.
Dulu memanipulasi harga pasar, sekarang memanipulasi perasaan manusia.
Penutup
Kita hidup di zaman di mana semua hal bisa dijual---termasuk kesedihan.
Dan yang paling laku di pasar digital hari ini bukan kebahagiaan,
melainkan air mata yang viral.
Jadi, kalau ada yang datang dengan wajah iba sambil berkata "dukung aku, tonton videoku,"
ingatlah: bisa jadi yang mereka jual bukan cerita, tapi dirimu sebagai penonton yang mudah tersentuh.
Karena dalam bisnis monyet era digital, yang paling sering ditipu bukanlah orang lain,
melainkan akal sehat kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI