Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

TikTok Live Dibekukan, Entrepreneur Kecil Jadi Korban

4 Oktober 2025   06:00 Diperbarui: 4 Oktober 2025   07:13 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu hal yang sering luput dari sorotan ketika pemerintah mengambil kebijakan drastis terhadap platform digital: nasib para pelaku usaha kecil yang bergantung pada ruang itu. 

Pembekuan izin TikTok Live sejak 3 Oktober 2025 menjadi contoh terbaru. Pemerintah berdalih bahwa TikTok melanggar kewajiban sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) privat karena enggan menyerahkan data lengkap tentang aktivitas live streaming, termasuk trafik, monetisasi gift, hingga indikasi perjudian online. 

Dari sisi aturan, mungkin benar. Tetapi dari sisi lapangan usaha, keputusan ini terasa seperti menyiram bensin ke atas api yang sudah menyala.

Mari kita lihat siapa yang paling terdampak. Bukan manajemen TikTok yang berkantor di Singapura atau Beijing. Bukan pula para pemilik modal besar yang bisa dengan mudah memindahkan iklan ke platform lain. Yang paling merasakan pahitnya kebijakan ini adalah pedagang kecil, penjual baju di desa, reseller kosmetik di kota kecil, sampai ibu rumah tangga yang mencoba menambah penghasilan dengan memanfaatkan Live TikTok. 

Mereka sudah terbiasa berinteraksi real-time dengan pembeli, membangun kepercayaan, dan menutup transaksi secara instan. Ketika fitur itu hilang, omzet mereka ambruk seketika.

Bukankah pemerintah selama ini bangga dengan jargon "UMKM naik kelas lewat digitalisasi"? Ironinya, jargon itu runtuh hanya karena tarik-menarik data antara regulator dan korporasi global. Lagi-lagi yang jadi korban adalah rakyat kecil yang seharusnya dilindungi.

Saya bukan pembela TikTok. Platform ini punya banyak masalah: dari konten sampah, isu keamanan data, sampai praktik manipulasi algoritma. Tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa ia sudah menjadi "pasar malam digital" yang riuh, murah meriah, dan penuh kesempatan. 

TikTok Live adalah panggung di mana produk lokal bisa bersaing dengan produk impor, bukan lewat iklan ratusan juta, tetapi lewat kelihaian berbicara dan kedekatan dengan penonton. Di sini ada keadilan: siapa yang rajin live, kreatif, dan komunikatif, dialah yang lebih laku. Sesuatu yang jarang diberikan oleh marketplace konvensional yang lebih dingin dan kaku.

Ketika pemerintah memutus akses Live, apa pesan yang tersirat? Bahwa negara lebih takut pada data daripada peduli pada dapur rakyat. Bahwa kedaulatan digital diartikan sebatas menundukkan perusahaan asing, bukan memberdayakan warganya. 

Kita bisa saja membungkusnya dengan kalimat indah seperti "penegakan aturan" atau "perlindungan ruang digital nasional". Tetapi bagi pedagang yang kehilangan penghasilan harian, semua itu hanya terdengar seperti bahasa elit yang tidak nyambung dengan realitas hidup.

Ilustrasi pembekuan Tiktok Live. (Gambar dibuat dengan AI)
Ilustrasi pembekuan Tiktok Live. (Gambar dibuat dengan AI)

Di sisi lain, keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa langkahnya seketika dan frontal? 

Sejak Agustus lalu, TikTok sudah dipanggil dan diminta menyerahkan data. Mengapa tidak ditempuh jalan tengah, misalnya pembatasan bertahap, transparansi publik soal negosiasi, atau skema transisi yang melindungi pelaku usaha kecil? Kenapa langsung beku---dengan konsekuensi jutaan orang kehilangan akses mata pencaharian?

Sikap semacam ini justru memperkuat kesan bahwa pemerintah ingin mengontrol aliran informasi, terutama setelah Live TikTok terbukti menjadi medium mobilisasi massa dalam unjuk rasa. Pertanyaan sinis pun muncul: apakah ini soal data, atau soal takut pada rakyat yang bisa mengorganisasi diri lewat layar ponsel?

Dari perspektif entrepreneur, pembekuan ini juga membawa dampak psikologis. Dunia usaha digital berjalan di atas fondasi kepercayaan. Investor, kreator, dan UMKM berinvestasi waktu, tenaga, dan uang karena mereka percaya platform itu stabil dan tidak tiba-tiba dimatikan oleh otoritas. Begitu keyakinan itu goyah, efeknya menular. Bukan hanya TikTok yang diragukan, tapi seluruh ekosistem digital Indonesia. Siapa yang menjamin besok YouTube Live, Instagram Live, atau Shopee Live tidak mengalami hal serupa ketika ada gesekan dengan pemerintah?

Ketidakpastian inilah yang paling ditakuti entrepreneur. Kita bisa beradaptasi pada perubahan algoritma, tren pasar, bahkan resesi ekonomi. Tetapi kita sulit beradaptasi pada regulasi yang datang mendadak, tanpa memperhitungkan efek domino di lapangan. Bukankah stabilitas regulasi adalah syarat utama sebuah negara disebut ramah investasi?

Sebagian orang mungkin berargumen bahwa pedagang bisa pindah ke platform lain. Memang benar. Tetapi migrasi tidak semudah itu. Setiap platform punya ekosistem sendiri: algoritma, basis pengguna, hingga cara berinteraksi. 

Pedagang yang sudah punya ribuan pengikut loyal di TikTok Live harus membangun ulang dari nol jika pindah ke Instagram atau YouTube. Itu artinya biaya tambahan, waktu, dan tentu saja kerugian yang tidak kecil.

Bayangkan jika sebuah toko fisik dipaksa pindah ke lokasi baru tanpa kompensasi, hanya karena pemerintah menutup pasar lama. Apakah adil?

Sebagai pengamat entrepreneur, saya hanya bisa menyayangkan bahwa negara seakan lebih cepat menghukum daripada melindungi. Padahal, jalan tengah selalu ada. Pemerintah bisa tetap tegas menagih kewajiban data pada TikTok, sekaligus menyiapkan skema perlindungan bagi UMKM digital. Bisa dengan memberi tenggat transisi, menyediakan wadah alternatif, atau minimal memberi kejelasan bahwa pembekuan hanya bersifat sementara dengan batas waktu yang pasti.

Sayangnya, yang kita lihat justru ketergesaan. Seakan-akan pemerintah ingin memberi contoh keras, tanpa peduli pada riak-riak kecil yang justru menghantam rakyat biasa.

Dunia digital memang butuh aturan. Tidak ada yang menyangkal itu. Tetapi aturan yang baik adalah aturan yang menciptakan kepastian, bukan kekacauan. Entrepreneur kecil butuh regulasi yang membuat mereka berani melangkah, bukan regulasi yang membuat mereka trauma setiap kali mendengar kata "pembekuan izin".

Jika tujuan negara adalah kedaulatan data, capailah itu dengan mekanisme yang adil. Jangan biarkan rakyat kecil yang sudah susah payah bertahan di tengah ekonomi serba sulit justru jadi korban sampingan.

Pada akhirnya, yang kita inginkan bukanlah negara yang gagah berani menundukkan raksasa digital, melainkan negara yang cerdas mengelola ekosistem agar rakyatnya tetap bisa mencari nafkah. 

TikTok Live mungkin hanyalah satu fitur, tetapi bagi jutaan orang Indonesia, ia adalah perahu penyelamat. Dan ketika perahu itu ditenggelamkan, kita hanya bisa bertanya: siapa sebenarnya yang sedang dilindungi?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun