Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rangking Tinggi, Solidaritas Rendah: Potret Buram Pendidikan Kita

25 September 2025   23:19 Diperbarui: 26 September 2025   05:34 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kondisi sekolah di Indonesia. (Dibuat dengan AI)

 

Di Inggris, sebuah riset menarik menyoroti paradoks sekolah kooperatif. Sekolah jenis ini lahir dari semangat kebersamaan: guru, siswa, orang tua, bahkan masyarakat sekitar terlibat dalam pengelolaan. Namun sejak kebijakan pendidikan didorong oleh logika pasar, sekolah kooperatif terjepit. Mereka ingin mempertahankan demokrasi, tetapi dipaksa bersaing dalam sistem yang menjadikan pendidikan mirip komoditas.

Potret itu seakan jauh dari Indonesia, tetapi sesungguhnya cerminannya jelas terlihat di sini.

Selama dua dekade terakhir, sistem pendidikan Indonesia diarahkan untuk bersaing. Sekolah dipacu meraih akreditasi unggul, ranking asesmen nasional, dan prestasi lomba. Orang tua memilih sekolah seperti memilih barang di pasar: mana yang paling laku, paling berlabel "unggulan", atau paling menjanjikan tiket masuk ke jenjang berikutnya.

Logika kompetisi ini tidak selalu buruk---ia bisa memicu peningkatan mutu. Namun ia juga menimbulkan jurang. Sekolah yang kaya sumber daya semakin kuat branding-nya, sementara sekolah kecil di desa atau pinggiran kota makin terpinggirkan. Dalam situasi ini, gotong royong sebagai jiwa pendidikan Indonesia sering tersisih.

Jika di Inggris sekolah kooperatif memiliki wadah formal, di Indonesia wajahnya lebih cair. Ia muncul dalam bentuk komite sekolah yang aktif, inisiatif masyarakat mendirikan sekolah alternatif, atau praktik solidaritas di pesantren kecil yang menopang pendidikan dengan iuran sukarela.

Wajah kooperatif juga tampak saat sekolah melibatkan orang tua dalam pengambilan keputusan, atau ketika murid diberi ruang untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Namun sering kali, praktik semacam itu kalah pamor dibanding citra sekolah unggulan yang sibuk memajang prestasi akademik dan lomba.

Paradoks yang dipotret riset Inggris juga terjadi di Indonesia. Sekolah ingin mengajarkan kebersamaan, tetapi pada saat yang sama dipaksa tunduk pada sistem yang mengukur kesuksesan melalui angka, ranking, dan sertifikasi. Nilai demokrasi sering hanya menjadi slogan di brosur, bukan praktik nyata di lapangan.

Kebijakan pendidikan yang menekankan kompetisi justru menambah tekanan. Guru terbebani administrasi dan target ujian, kepala sekolah dikejar akreditasi, sementara murid kehilangan ruang untuk belajar demokrasi melalui pengalaman langsung.

Meski demikian, Indonesia memiliki modal sosial yang kaya: gotong royong. Nilai ini sejalan dengan semangat sekolah kooperatif di Inggris, bahkan bisa lebih kuat karena berakar pada budaya lokal. Pertanyaannya, beranikah kita mengangkat kembali gotong royong sebagai fondasi pendidikan, bukan sekadar jargon?

Sekolah di Indonesia dapat belajar dari paradoks Inggris. Jangan sampai semangat kooperatif hanya jadi label atau formalitas di visi-misi. Ia harus hidup dalam praktik: keputusan yang melibatkan orang tua, program yang benar-benar menolong siswa miskin, pembelajaran yang mengajarkan kolaborasi, dan kepemimpinan sekolah yang terbuka pada partisipasi.

Bagi pengambil kebijakan, ada dua pesan penting. Pertama, jangan biarkan standar pasar sepenuhnya mendikte arah pendidikan. Prestasi akademik perlu, tetapi tidak boleh menenggelamkan dimensi demokrasi, solidaritas, dan partisipasi. Kedua, kebijakan harus memberi ruang bagi sekolah untuk tumbuh dari kekuatan komunitasnya.

Regulasi yang terlalu kaku---misalnya hanya mengukur angka kelulusan atau sertifikasi---membuat sekolah kehilangan kesempatan menumbuhkan nilai gotong royong. Pemerintah perlu mendesain asesmen dan akreditasi yang juga mengukur sejauh mana sekolah melibatkan masyarakat, membangun kebersamaan, dan melatih murid menjadi warga demokratis.

Bagi para guru dan kepala sekolah, paradoks sekolah kooperatif adalah pengingat. Sekolah bisa saja terseret arus persaingan, tetapi tetap ada ruang untuk membangun demokrasi kecil di kelas dan lingkungan sekolah.

Guru dapat melatih murid mengambil keputusan bersama, menyelesaikan masalah dengan musyawarah, dan menumbuhkan empati pada sesama. Kepala sekolah dapat menghidupkan komite sekolah sebagai mitra sejati, bukan sekadar stempel administrasi. Dan sekolah dapat membuka diri pada inisiatif masyarakat lokal, sehingga murid belajar bahwa pendidikan bukan hanya urusan nilai, tetapi juga urusan hidup bersama.

Paradoks sekolah kooperatif di Inggris adalah cermin bagi Indonesia. Kita pun menghadapi dilema serupa: di satu sisi ingin membangun pendidikan yang demokratis dan inklusif, di sisi lain terikat sistem yang menekankan kompetisi dan pasar.

Namun Indonesia memiliki satu kekuatan yang tak boleh dilupakan: gotong royong. Bila nilai ini sungguh dihidupkan dalam sekolah, maka pendidikan kita tidak akan kehilangan arah. Ia akan tetap berpihak pada manusia, bukan semata pada angka dan ranking.

Referensi

Woodin, T. (2022). Democracy and schooling: The paradox of co‐operative schools in a neoliberal age. Journal of Philosophy of Education, 56(4), 605–618. https://doi.org/10.1111/1467-9752.12684

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun