Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kebetulan atau Takdir yang Belum Terbaca

16 September 2025   23:59 Diperbarui: 16 September 2025   23:59 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sering menyebut sesuatu sebagai kebetulan. Ketika bertemu teman lama di bandara, ketika terselamatkan dari kecelakaan karena telat lima menit, ketika menemukan buku yang ternyata persis menjawab keresahan kita---semua itu kita namai kebetulan. Namun, pertanyaannya: apakah kebetulan itu benar-benar ada? Ataukah ia hanyalah keterbatasan manusia dalam membaca takdir?

Manusia menyukai istilah "kebetulan" karena ia memberi ruang bagi misteri. Kebetulan membuat hidup terasa penuh kejutan, seolah ada ruang acak yang tidak bisa ditebak. "Ah, kebetulan saja aku lewat sini," begitu kita berkata. Padahal, benarkah ada sesuatu yang sungguh kebetulan, dalam dunia yang diatur dengan begitu presisi?

Seorang ilmuwan mungkin menjawab dengan teori probabilitas. Dunia memang dipenuhi kemungkinan, dan kita hanya salah satunya. Bagi ilmuwan, kebetulan adalah pertemuan antara peluang dan kenyataan. Tetapi bagi seorang beriman, kebetulan bisa jadi hanyalah istilah sementara bagi sesuatu yang sebenarnya sudah ditentukan sejak awal.

Al-Qur'an menyatakan bahwa tidak ada sehelai daun pun yang jatuh tanpa sepengetahuan Allah. Artinya, bahkan hal sekecil itu pun sudah termasuk dalam catatan takdir. Jika demikian, bagaimana mungkin sebuah pertemuan atau peristiwa besar disebut kebetulan?

Barangkali kebetulan itu hanyalah cara kita menamai takdir yang belum terbaca. Kita tidak tahu mengapa peristiwa itu terjadi, kita tidak tahu garis apa yang menghubungkannya. Lalu kita memberi label: kebetulan. Padahal, bisa jadi semua sudah termasuk dalam rancangan yang rapi, hanya saja kita buta membacanya.

Namun, menyebut kebetulan sebagai keterbatasan membaca takdir tidak berarti meniadakan peran manusia. Karena, meski takdir ada, manusia tetap diberi ruang untuk memilih, berusaha, menentukan sikap. Maka, kebetulan kadang juga menjadi bahasa penghiburan. Dengan menyebut sesuatu kebetulan, kita meredakan kecemasan. Kita menghindari beban terlalu berat dengan menganggapnya sekadar peristiwa acak.

Tetapi apakah itu cukup? Apakah dengan menyebut kebetulan, kita lantas bebas dari tanggung jawab untuk memaknainya?

Sering kali, setelah waktu berlalu, kita baru menyadari bahwa kebetulan itu bukan kebetulan. Pertemuan singkat di kereta ternyata mengubah jalan hidup. Kegagalan yang menyakitkan ternyata membuka pintu baru. Keterlambatan yang membuat kita marah ternyata menyelamatkan nyawa. Apa yang dulu kita anggap kebetulan, akhirnya terbaca sebagai bagian dari pola.

Di sinilah letak keterbatasan manusia: kita hanya bisa membaca takdir setelah ia lewat. Kita tidak bisa melihat peta utuh; kita hanya memegang potongan. Maka, kebetulan hanyalah nama sementara bagi takdir yang sedang menyamar.

Mungkin hidup ini mirip kitab yang besar. Takdir adalah teks yang lengkap, sedangkan kita hanya membacanya baris demi baris. Setiap baris yang belum kita pahami, kita sebut kebetulan. Tetapi seiring waktu, kita mulai melihat hubungan antarbaris, menemukan tema, lalu sadar bahwa semua saling terkait.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun