Katanya, pernyataan Menkeu Sri Mulyani soal "guru dan dosen beban negara" hanyalah hoaks, karya teknologi deepfake yang makin canggih. Ya biarlah, soal benar atau palsu bukan inti urusan kita. Justru yang menarik adalah gagasan di dalamnya: Guru dan Dosen adalah Beban Negara. Nah, kalau begitu solusinya jelas: negara harus rajin latihan beban, supaya ototnya kuat dan tahan lama.
Bayangkan negara ini sebagai anggota gym yang baru saja daftar paket tiga bulan. Di pojok ruangan ada Presiden Prabowo, tubuhnya berotot seperti binaragawan, sedang mengangkat barbel raksasa bertuliskan "Guru Honorer" di satu sisi dan "Beban Dosen" di sisi lainnya. Di sebelahnya, Menkeu Sri Mulyani berdiri dengan kacamata dan jas rapi, meniup peluit sambil berteriak: "Ayo! Angkat lagi! Kalau mau jadi negara maju, jangan takut sama beban pendidikan!".
Memang berat, tapi bukankah semua atlet tahu: tanpa beban, tidak ada kekuatan? Tanpa dumbbell otot hanya jadi hiasan untuk selfie. Begitu pula tanpa guru dan dosen, bangsa ini hanya akan punya gedung tinggi, jalan tol mulus, dan patung besar, tapi kosong dari isi kepala. Apa gunanya gedung pencakar langit kalau anak-anak di dalamnya tidak bisa membedakan mana fakta dan mana hoaks?
Masalahnya, sering kali negara ini justru seperti murid malas di gym. Datang sebentar, selfie di depan cermin, lalu pulang tanpa latihan. Anggaran pendidikan sudah digelontorkan, tapi sebagian habis untuk cat ulang tembok sekolah dan seminar berjudul "Penerapan Artificial Intelligence dan Deep Learning untuk Pembelajaran" yang hanya berakhir dengan nasi kotak. Beban guru tetap tergeletak di lantai, tidak pernah benar-benar diangkat. Akhirnya, guru honorer tetap hidup dengan gaji setara uang parkir, dosen tetap sibuk isi borang akreditasi, sementara rakyat diberi ilusi bahwa latihan sudah cukup.
Kalau serius, negara harus menganggap setiap guru honorer sebagai barbel premium. Semakin berat bebannya---semakin besar gajinya, semakin layak fasilitasnya---semakin berotot negeri ini. Setiap dosen yang berjibaku dengan jurnal Scopus harus diperlakukan layaknya latihan deadlift: sakit punggungnya, pegal kakinya, tapi tanpa itu, rangka bangsa tidak pernah tegak.
Lebih lucu lagi kalau kita lihat gaya pengelolaan pendidikan. Banyak kebijakan terasa seperti treadmill: kelihatan keringetan, tapi diam di tempat. Setiap tahun muncul kurikulum baru, istilah baru, pelatihan baru, tapi kesejahteraan guru tidak bergerak. Sama seperti orang yang berlari di treadmill tiga jam, posting di Instagram dengan caption "No Pain No Gain", padahal berat badannya masih sama.
Dan jangan lupakan dosen. Mereka sudah seperti atlet angkat beban profesional, bedanya bukan mengangkat barbel, tapi menumpuk berkas: laporan penelitian, proposal hibah, jurnal internasional, laporan pengabdian, hingga dokumen evaluasi diri. Semua itu seperti piring besi tambahan di kanan-kiri barbel, ditumpuk terus sampai sendi lutut retak. Kalau ada yang jatuh ke lantai, bunyinya bukan "clang" tapi "plagiasi terdeteksi".
Maka mari kita dukung gagasan satir ini. Guru dan dosen adalah beban negara, iya benar. Tapi beban yang justru membuat bangsa berkeringat, berlatih, dan akhirnya tumbuh kekar. Kalau tidak mau angkat beban, ya siap-siap saja jadi negara kurus kering, ringkih, dan gampang jatuh sakit setiap kali ada ujian internasional seperti PISA.
Jadi, jangan lagi negara mengeluh guru dan dosen itu beban. Justru kalau negara takut sama beban pendidikan, artinya negara ini tak lebih dari pemuda ringkih yang hanya berani nongkrong di kafe, bukan di gym. Bangsa besar hanya lahir dari beban besar. Maka jika guru dan dosen adalah beban, Angkatlah! Jangan ditinggalkan. Karena bangsa yang kuat lahir bukan dari retorika, tapi dari keringat yang menetes saat mengangkat barbel bernama pendidikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI