Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apakah Sistem Kredit Semester (SKS) Adil Bagi Mahasiswa?

10 Agustus 2025   06:55 Diperbarui: 10 Agustus 2025   11:10 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi SKS dengaGambar dibuat dengan AI)

Di banyak PTN maupun PTKIN, jumlah SKS yang boleh diambil mahasiswa pada semester berikutnya ditentukan oleh Indeks Prestasi (IP) semester sebelumnya. Aturan ini, yang konon dimaksudkan untuk "menjaga" beban belajar agar sesuai kemampuan, justru di lapangan sering berubah menjadi jebakan administratif yang memperlambat studi dan menimbulkan ketidakadilan.

Logika dasarnya sederhana. Mahasiswa dengan IP tinggi diberi kepercayaan mengambil lebih banyak SKS, sementara mahasiswa dengan IPK rendah dibatasi. Niatnya baik: memberi tantangan kepada yang siap, dan memberi "ruang perbaikan" bagi yang tertinggal. Namun, logika ini mengasumsikan bahwa penurunan nilai selalu disebabkan oleh ketidakmampuan akademik. Padahal, kenyataan jauh lebih kompleks.

Banyak mahasiswa kehilangan poin IP bukan karena malas atau tidak mampu, tetapi karena faktor eksternal: sakit, beban keluarga, masalah psikologis, atau bahkan keberanian mengambil mata kuliah sulit. Ironisnya, aturan ini menutup pintu pemulihan cepat. Mahasiswa yang terpaksa mengambil SKS sedikit di semester berikutnya harus menunggu lebih lama untuk lulus. Di kampus dengan UKT flat, situasinya lebih timpang: mahasiswa yang mengambil 24 SKS dan yang hanya mengambil 12 SKS membayar biaya yang sama. Dalam logika ekonomi, yang dibatasi SKS justru membayar lebih mahal per SKS.

Pendidikan tinggi seharusnya membelajarkan (memberi kesempatan belajar), memandaikan (membangun cara berpikir), memintarkan (menambah pengetahuan dan keterampilan). Ketika kebijakan SKS berbasis IP diterapkan kaku, ia berubah menjadi mekanisme penghukuman yang mengerdilkan semangat belajar. Mahasiswa lambat semakin diperlambat. Beban biaya hidup membengkak, semangat belajar terkikis, dan rasa keadilan terganggu.

Sudah waktunya para pengambil kebijakan di PTN dan PTKIN meninjau ulang aturan ini. Pembatasan SKS seharusnya tidak semata berbasis IP, tetapi mempertimbangkan konteks dan memberi ruang fleksibilitas. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

  1. Mekanisme dispensasi bagi mahasiswa dengan alasan medis atau sosial yang sah, sehingga tetap bisa mengambil SKS maksimal.

  2. Bimbingan akademik intensif bagi mahasiswa yang nilainya menurun, bukan sekadar memotong jatah SKS.

  3. Skema pembiayaan yang proporsional jika pembatasan SKS tetap dilakukan.

Pendidikan tinggi bukan ruang seleksi keras yang memisahkan "yang cepat" dari "yang lambat". Ia adalah ruang pembinaan yang menghargai proses dan memberi kesempatan setara untuk berkembang. Mengaitkan SKS hanya pada IP adalah warisan mekanisme lama yang sudah tidak lagi relevan di era pembelajaran fleksibel, lintas kampus, dan berbasis kompetensi.

Reformasi kebijakan SKS bukan sekadar soal teknis administrasi, tetapi ujian sejauh mana perguruan tinggi memegang teguh prinsip keadilan dan pembebasan dalam pendidikan. Dan ujian ini, mau tidak mau, akan menunjukkan apakah kita benar-benar percaya bahwa setiap mahasiswa berhak memperoleh peluang belajar yang sama, apapun titik awal dan rintangannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun