Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masuk Politik Tak Sekadar Niat

11 Juli 2025   06:30 Diperbarui: 11 Juli 2025   01:41 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi masuk politik. (Sumber: Freepik.com)

Bayangkan Anda adalah seorang guru berprestasi, aktif di komunitas, dan punya integritas. Apakah Anda akan maju dalam pemilu legislatif berikutnya? Mungkin tidak. Bukan karena tak ada niat, tapi karena sistem, biaya, dan jaringan politik membuat jalur itu nyaris tak bisa dilalui orang biasa.

Itulah inti kegelisahan yang diangkat Saad Gulzar dalam artikelnya, Who Enters Politics and Why?. Pertanyaannya sederhana, tapi jarang sungguh dijawab secara serius: Siapa yang masuk ke dunia politik? Dan kenapa hanya mereka?

Demokrasi dan Ilusi Keterwakilan

Kita terlalu lama percaya bahwa pemilu adalah pesta rakyat. Bahwa siapa saja bisa jadi wakil rakyat, asal mau kerja keras. Namun, kenyataannya lebih keras: yang punya uang, jaringan, dan waktu luanglah yang lebih mungkin jadi kandidat.

Gulzar menunjukkan bahwa di banyak negara, dari Pakistan sampai Amerika, dari Brasil hingga Denmark, yang mencalonkan diri adalah segelintir elite yang punya modal sosial dan finansial. Bahkan di Swedia yang terkenal egaliter, politisi tetap datang dari kelompok dengan IQ dan pendapatan lebih tinggi dari rata-rata populasi.

Ini bukan berarti mereka tak pantas. Tapi ketika hanya mereka yang bisa masuk, kita kehilangan kemungkinan melihat politisi dari kelas pekerja, perempuan, kelompok etnis minoritas, atau anak muda.

Ambisi Saja Tidak Cukup

Banyak studi politik memfokuskan diri pada kandidat yang sudah jadi. Gulzar menantang pendekatan ini. Ia menyebut ada ribuan "calon yang tak pernah muncul ke permukaan"---orang-orang yang punya niat, tapi tak punya jalan.

Ada yang ragu karena tidak punya uang untuk kampanye. Ada yang takut diintimidasi oleh patron lokal. Ada juga yang tak pernah diajak partai untuk bergabung, karena "tidak dianggap layak" oleh elite partai. Di sinilah titik kelam rekrutmen politik: yang dipanggil adalah mereka yang sudah dekat, akrab, dan aman bagi kekuasaan.

Antara Representasi dan Kompetensi

Salah satu perdebatan klasik dalam demokrasi adalah: apakah kita ingin politisi yang representatif (merepresentasikan demografi rakyat), atau kompeten (punya kapasitas teknis dan intelektual tinggi)?

Jawaban Gulzar menarik: di negara-negara dengan mobilitas sosial tinggi seperti Swedia dan Denmark, tidak ada pertentangan antara keduanya. Kita bisa punya politisi yang pintar sekaligus berasal dari latar belakang beragam.

Tapi di negara seperti Amerika Serikat atau India, ketimpangan sosial membuat politik cenderung jadi "klub eksklusif". Orang-orang pintar yang masuk ke politik adalah mereka yang berasal dari keluarga kaya, bukan dari kampung nelayan atau buruh pabrik.

Apa yang Bisa Dilakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun