Bayangkan Anda adalah seorang guru berprestasi, aktif di komunitas, dan punya integritas. Apakah Anda akan maju dalam pemilu legislatif berikutnya? Mungkin tidak. Bukan karena tak ada niat, tapi karena sistem, biaya, dan jaringan politik membuat jalur itu nyaris tak bisa dilalui orang biasa.
Itulah inti kegelisahan yang diangkat Saad Gulzar dalam artikelnya, Who Enters Politics and Why?. Pertanyaannya sederhana, tapi jarang sungguh dijawab secara serius: Siapa yang masuk ke dunia politik? Dan kenapa hanya mereka?
Demokrasi dan Ilusi Keterwakilan
Kita terlalu lama percaya bahwa pemilu adalah pesta rakyat. Bahwa siapa saja bisa jadi wakil rakyat, asal mau kerja keras. Namun, kenyataannya lebih keras: yang punya uang, jaringan, dan waktu luanglah yang lebih mungkin jadi kandidat.
Gulzar menunjukkan bahwa di banyak negara, dari Pakistan sampai Amerika, dari Brasil hingga Denmark, yang mencalonkan diri adalah segelintir elite yang punya modal sosial dan finansial. Bahkan di Swedia yang terkenal egaliter, politisi tetap datang dari kelompok dengan IQ dan pendapatan lebih tinggi dari rata-rata populasi.
Ini bukan berarti mereka tak pantas. Tapi ketika hanya mereka yang bisa masuk, kita kehilangan kemungkinan melihat politisi dari kelas pekerja, perempuan, kelompok etnis minoritas, atau anak muda.
Ambisi Saja Tidak Cukup
Banyak studi politik memfokuskan diri pada kandidat yang sudah jadi. Gulzar menantang pendekatan ini. Ia menyebut ada ribuan "calon yang tak pernah muncul ke permukaan"---orang-orang yang punya niat, tapi tak punya jalan.
Ada yang ragu karena tidak punya uang untuk kampanye. Ada yang takut diintimidasi oleh patron lokal. Ada juga yang tak pernah diajak partai untuk bergabung, karena "tidak dianggap layak" oleh elite partai. Di sinilah titik kelam rekrutmen politik: yang dipanggil adalah mereka yang sudah dekat, akrab, dan aman bagi kekuasaan.
Antara Representasi dan Kompetensi
Salah satu perdebatan klasik dalam demokrasi adalah: apakah kita ingin politisi yang representatif (merepresentasikan demografi rakyat), atau kompeten (punya kapasitas teknis dan intelektual tinggi)?
Jawaban Gulzar menarik: di negara-negara dengan mobilitas sosial tinggi seperti Swedia dan Denmark, tidak ada pertentangan antara keduanya. Kita bisa punya politisi yang pintar sekaligus berasal dari latar belakang beragam.
Tapi di negara seperti Amerika Serikat atau India, ketimpangan sosial membuat politik cenderung jadi "klub eksklusif". Orang-orang pintar yang masuk ke politik adalah mereka yang berasal dari keluarga kaya, bukan dari kampung nelayan atau buruh pabrik.