Di negeri ini, banyak orang dengan gelar doktor, profesor, bahkan peraih penghargaan nasional, merasa sudah "menciptakan" sesuatu hanya karena berhasil merakit robot, menulis buku tentang Internet of Things (IoT), atau membikin alat deteksi banjir dengan sensor arduino. Mereka bangga. Lalu dipuji. Diperlombakan. Difoto. Dijadikan berita.
Tapi tunggu dulu. Apakah itu benar-benar "inovasi"? Atau hanya aktivitas merakit dan mengulang?
Saya tidak sedang menyepelekan kerja keras peneliti kita. Tapi kita harus jujur. Banyak dari apa yang kita anggap "hasil riset" di Indonesia sejatinya belum keluar dari tahap awal: meniru. Kita mengamati, menyalin, lalu sedikit memodifikasi, dan menyebutnya "produk inovasi". Kita bangga pada hasil ATMÂ --- Amati, Tiru, Modifikasi --- yang terus dipelihara dari generasi ke generasi, seolah-olah itu sudah cukup. Padahal dunia sudah berpindah dari ATM ke Artificial Intelligence dan rekayasa teknologi berbasis pengetahuan mendalam (deep tech).
Bandingkan dengan Jepang. Mereka tidak sekadar membuat robot yang bisa berjalan. Mereka menciptakan robot yang memahami emosi manusia. Mereka tak cuma merakit, mereka merumuskan ulang cara kerja mesin, perilaku algoritma, bahkan memperdebatkan etika robotika. Mereka bukan sekadar engineer, mereka adalah rekayasawan. Di situlah letak perbedaannya: creating is not just making.
Indonesia belum sampai ke sana. Kita baru pada tahap membuat, belum menciptakan. Dan ironisnya, sistem kita seperti mendorong untuk tetap di sana. Proyek riset dihargai dari banyaknya alat yang bisa di-launching, bukan dari apakah riset itu menghasilkan pengetahuan baru, paten yang layak industri, atau paradigma yang menggugah.
Lebih parah lagi, pencapaian riset sering jadi alat mobilisasi: untuk kenaikan jabatan, hibah lanjutan, atau bahkan pencitraan politik. Akhirnya, penelitian menjadi proyek-proyek jangka pendek demi output cepat. Padahal riset sejati butuh proses jangka panjang, kadang penuh kegagalan, dan seringkali tak bisa langsung "dipamerkan".
Saya jadi skeptis setiap kali membaca berita: "Peneliti Indonesia ciptakan alat pendeteksi gempa dengan biaya murah", atau "Mahasiswa menciptakan sepeda pintar anti-maling". Banyak dari itu hanya replikasi dari tutorial YouTube atau bahan ajar MIT yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, lalu diberi nama lokal. Tidak salah, tapi jangan terlalu cepat menyebutnya sebagai "inovasi".
Kalau kita tak segera ubah cara pandang ini, maka kita akan terus terjebak dalam budaya meniru dan membanggakan hasil setengah jadi. Pujian terlalu cepat bisa membunuh semangat riset sejati. Kita jadi terlalu mudah puas.
Sudah saatnya kita ubah standar: