Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Gugatan SLAPP Terhadap Ahli Lingkungan

2 Juli 2025   18:00 Diperbarui: 2 Juli 2025   16:59 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kebakaran hutan. (Sumber: Canva.com)

Beberapa hari lalu, saya membaca lagi siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil: dua nama yang sudah tak asing dalam dunia lingkungan Indonesia, Prof. Bambang Hero Saharjo dan Prof. Basuki Wasis, kembali digugat oleh perusahaan yang terjerat kasus kebakaran hutan dan lahan. Kali ini, PT Kalimantan Lestari Mandiri (KLM) menuntut keduanya secara perdata. Nilainya pun fantastis---lebih dari Rp360 miliar. Saya tidak sedang menulis drama pengadilan fiksi, ini benar-benar terjadi di Indonesia, 2025.

Jika Anda berpikir, "Ah, pasti ini cuma soal beda pendapat antar ahli," saya ingin mengajak Anda berpikir ulang. Gugatan ini bukan sekadar perdebatan dalam ranah ilmiah, melainkan upaya sistematis membungkam suara kritis melalui mekanisme hukum. Istilah populernya: SLAPP---Strategic Lawsuit Against Public Participation, gugatan strategis untuk menghambat partisipasi publik.

Mengapa ini berbahaya? Karena hak kita atas lingkungan hidup yang sehat dipertaruhkan. Karena kebebasan akademik dan keberanian menyuarakan kebenaran dalam sidang di ujung tanduk. Dan, lebih jauh, karena masa depan demokrasi hukum kita ikut dipertaruhkan.

SLAPP: Siasat Lama, Kemasan Baru

Sebagai seorang pemerhati hukum, saya skeptis---dan harus skeptis---terhadap setiap upaya penggunaan hukum untuk tujuan membungkam. Sudah banyak preseden: sejak kasus Prof. Basuki digugat karena "salah ketik" hingga Prof. Bambang yang pernah dijadikan sasaran gugatan pada 2018. Polanya sama: ketika ahli mengungkapkan fakta di persidangan, pihak yang merasa dirugikan justru menyerang balik.

Padahal, secara normatif, Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) secara tegas menyatakan:
"Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata."
Artinya, tidak ada ruang bagi gugatan semacam ini, kecuali jika kita hendak membelokkan makna hukum.

Tidak cukup? Silakan buka PERMA No. 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 48 ayat (3) huruf c:
Penyampaian pendapat, kesaksian, atau keterangan di persidangan adalah bagian dari perjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Jadi, dari sisi hukum positif, gugatan PT KLM terhadap Prof. Bambang dan Prof. Basuki jelas-jelas tidak berdasar. Jika tetap diteruskan, hakim wajib menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Bahaya Membiarkan SLAPP

Sayangnya, dalam praktik, norma hukum ideal seringkali dikalahkan oleh kekuatan modal dan kekaburan etika profesi. SLAPP bukan sekadar gugatan. Ia adalah teror psikologis yang menimbulkan chilling effect---efek jera dan ketakutan bagi para ahli, akademisi, bahkan warga biasa untuk bersuara. Hari ini Prof. Bambang dan Prof. Basuki, besok bisa saja dosen di kampus Anda, atau bahkan Anda sendiri.

Kita harus bertanya: Apakah ruang demokrasi kita sedemikian rapuhnya sehingga pengadilan bisa dipakai untuk membungkam suara kebenaran? Jika "amanat keahlian" dalam sidang saja bisa digugat, lalu untuk apa kita mencetak pakar, membuat laboratorium, atau membangun universitas?

Solusi: Lawan dan Reformasi

Saya mendorong masyarakat, kampus, dan komunitas hukum agar tidak sekadar bereaksi, tetapi bergerak aktif. Pertama, pengadilan wajib konsisten pada hukum dan menolak gugatan SLAPP. Ini penting sebagai preseden, bukan hanya untuk kasus ini, tetapi bagi penegakan hukum lingkungan ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun