Di kota-kota yang gemetar oleh kesibukan dan ketergesaan, di antara dinding-dinding beton dan jalan-jalan yang tak pernah sepenuhnya diam, kafe tumbuh seperti jamur yang tahu kapan musim basah tiba. Tapi yang mereka sajikan bukan sekadar kopi, gula, dan uap. Mereka menyuguhkan sesuatu yang lebih tak terlihat---ruang.
Kita menyebutnya kafe, tempat yang tak terlalu rumah, tak sepenuhnya kantor, tak sepenuhnya jalanan. Ia adalah ruang ketiga---the third place, sebagaimana disebut oleh sosiolog Ray Oldenburg---sebuah tempat yang menjembatani rumah dan kerja, privat dan publik, formal dan santai. Di sinilah kita belajar bahwa kehidupan butuh interlud---jeda antara tanggung jawab dan pelarian.
Kafe adalah panggung kecil di mana lakon hidup kota dimainkan tanpa naskah. Lihatlah lelaki setengah baya yang membaca Foreign Affairs dengan espresso pekat di tangan kanan dan keheningan di tangan kiri. Lihatlah mahasiswa yang menyusun makalah sosiologi dengan earbuds tertanam dan jendela terbuka ke arah jalan. Lihat pula dosen yang---bosan dengan ruang dekanat yang sempit dan kolot---mengajak mahasiswanya berdiskusi filsafat di pojok belakang, ditemani suara grinder dan denting sendok pada gelas.
Apa yang kita cari di kafe, selain kafein? Mungkin kita mencari pengakuan diam-diam bahwa hidup tak harus selalu terburu. Di tengah keterdesakan ruang, kafe menawarkan ambience yang membiarkan pikiran berkeliaran: tidak seperti perpustakaan yang menuntut sunyi, atau kantor yang menuntut hasil. Kafe tidak menuntut. Ia menerima. Ia menjadi.
Maka jangan heran jika di zaman ini, kafe berubah rupa. Bukan lagi semata warung dengan kopi panas dan rokok di asbak, tapi sebuah ecosystem baru. Ia tempat belajar, rapat, curhat, pamer, bahkan meditasi. Seorang ibu muda bisa menyusui anaknya di sofa belakang sambil memesan caramel latte. Seorang arsitek bisa menyelesaikan rendering terakhirnya sambil menguping percakapan dua remaja tentang TikTok. Seorang aktivis bisa menulis opini tentang subsidi BBM sambil mencicipi banana bread. Dan semua itu sah---dalam hukum tak tertulis yang berlaku di ruang ini.
Kafe juga tempat untuk mereka yang tak tahan di rumah. Rumah yang sempit bukan hanya karena ukuran, tapi karena luka. Bagi sebagian orang, rumah adalah tempat ketegangan, bukan ketenangan. Maka mereka mencari pelarian yang tidak sepenuhnya pergi. Kafe menjadi penampung rindu: rindu pada sunyi yang tak sepi, rindu pada keramaian yang tak bising.
Bagi mahasiswa, kafe adalah ruang belajar alternatif. Mereka menyebutnya "ngopi nugas". Tapi lebih dari itu, mereka sedang belajar membangun dunia di luar kampus. Di atas meja rotan dan kursi kayu itu, mereka menyusun strategi hidup: dari skripsi, bisnis kecil, hingga perasaan yang tak pernah selesai diucapkan. Di kafe, mereka bukan hanya mahasiswa, tapi manusia muda yang sedang meraba jalan.
Bagi dosen, kafe menawarkan kebebasan yang tak didapat di ruang sidang akademik. Di kampus, mereka dihitung dari angka kredit dan jurnal bereputasi. Di kafe, mereka dihitung dari seberapa jujur mereka bisa berbicara. Maka kerap kita temukan mereka memindahkan ruang kuliah ke luar, menjadikan cappuccino sebagai pointer, dan suasana teduh sebagai papan tulis. Di sana, pemikiran lebih mengalir, karena birokrasi tak sempat duduk.
Namun tentu saja, kafe juga tempat penuh pura-pura. Seperti semua ruang sosial, ia bukan tanpa topeng. Orang datang untuk terlihat sibuk, terlihat keren, terlihat produktif. Layar laptop bisa menyala hanya untuk membuka Canva, bukan jurnal ilmiah. Buku yang dibawa bisa lebih jadi aksesoris daripada alat baca. Tapi bukankah pura-pura itu juga bagian dari hidup? Kita semua kadang butuh menyamar agar bisa menjadi diri sendiri.
Saya kira, justru di situlah daya tarik kafe. Ia fleksibel. Ia mempersilakan kita menjadi siapa pun: pekerja lepas, penulis puisi, pebisnis pemula, aktivis lingkungan, atau sekadar pengamat manusia. Dan dalam peran-peran itu, kita menjahit pengalaman-pengalaman kecil menjadi pengertian besar: bahwa ruang publik yang baik bukan hanya soal kursi dan AC, tapi soal penerimaan dan kemungkinan.