Bayangkan Anda sedang duduk di depan laptop, secangkir kopi panas menemani, sebuah buku terbuka di pangkuan. Di layar, ChatGPT sudah siap menjawab apa pun. Anda cukup mengetik: "Tolong buatkan esai 500 kata tentang kepemimpinan transformatif dalam pendidikan tinggi," dan... voila! Lima detik kemudian, tugas Anda selesai. Apakah itu artinya Anda makin pintar?
Atau justru: makin malas berpikir?
Fenomena penggunaan kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT dalam dunia akademik dan keseharian menimbulkan kekhawatiran tentang munculnya "utang kognitif"---istilah yang menggambarkan kondisi ketika otak manusia terlalu banyak menyerahkan tugas berpikirnya kepada mesin, sehingga pelan-pelan menurun kemampuannya.
Sebuah riset dari MIT Media Lab bahkan mengklaim bahwa aktivitas otak mahasiswa yang menulis esai dengan bantuan ChatGPT menurun drastis dibandingkan yang menulis secara manual. Aktivitas gelombang otak mereka, khususnya beta dan alpha---yang berhubungan dengan bahasa dan memori kerja---tiba-tiba lesu. Seolah-olah otak sedang cuti massal.
Namun pertanyaan pentingnya: apakah ini benar-benar masalah mesin, atau masalah manusia yang tak mau berpikir?
Antara Memudahkan dan Menggampangkan
Teknologi selalu lahir untuk memudahkan manusia, bukan menggantikan manusia. Mesin ketik dulu memudahkan menulis, tapi tak pernah menggantikan ide. Google memudahkan riset, tapi tetap butuh otak untuk menyaring informasi. Maka, ChatGPT pun seharusnya menjadi fasilitator berpikir, bukan pengganti berpikir.
Namun kenyataannya, banyak yang tergoda untuk menggampangkan. Bukan hanya mahasiswa, tapi juga dosen, penulis, bahkan pejabat publik. Dalam ekosistem yang sudah lama menderita sindrom "asal jadi", keberadaan AI seperti membuka pintu darurat: semua ingin cepat, semua ingin praktis, semua ingin terlihat pintar tanpa proses berpikir.
Inilah mengapa kita perlu waspada: bukan pada ChatGPT-nya, tapi pada mentalitas pengguna yang malas berpikir namun ingin hasil instan.
Berpikir adalah Hak Asasi Intelektual
Berpikir, sejatinya, adalah salah satu kenikmatan eksistensial manusia. Ia bukan beban, melainkan hak. Dalam dunia pendidikan, berpikir adalah latihan kesadaran. Maka ketika kita menyerahkan seluruh proses berpikir pada mesin---tanpa refleksi, tanpa evaluasi---kita sedang menggadaikan hak kita sendiri.
Menulis, misalnya, bukan sekadar menyusun kata. Ia adalah proses menata logika, menimbang gagasan, dan merangkai struktur berpikir. Bahkan ketika kita memakai AI untuk menulis, seharusnya tetap ada proses kurasi dan penyuntingan aktif. Di situlah letak metakognisi---kemampuan untuk berpikir tentang pikiran kita sendiri.