Konsep etika konsumsi yang diusulkan oleh sosiolog Sara Karimzadeh dan Magnus Bostrom dalam studi terbaru menjadi tiga tahap --- prakonsumsi, konsumsi, dan pascakonsumsi --- menawarkan pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap tanggung jawab individu dan kolektif dalam menghadapi krisis ekologis. Konsep ini pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Sara Karimzadeh dan Magnus Bostrom dalam sebuah studi yang menyoroti keterkaitan antara konsumsi, kecukupan, dan kepedulian. Mereka mengusulkan bahwa etika konsumsi tidak hanya tentang memilih produk yang lebih 'hijau', tetapi mencakup keseluruhan siklus hidup barang dan jasa: mulai dari keputusan untuk membeli (atau tidak membeli), cara menggunakan, hingga bagaimana mengakhiri relasi dengan barang tersebut.
Bukan hanya soal memilih produk yang ramah lingkungan di toko, tapi juga merenungi alasan kita menginginkan barang itu, bagaimana kita menggunakannya, dan apa yang terjadi setelahnya. Tiga tahap etika konsumsi ini seakan memberi kita peta spiritual baru untuk umat konsumeris yang ingin naik haji ke tanah suci keberlanjutan. Tapi, seperti halnya biro travel umrah abal-abal, jangan dulu percaya semua bisa selesai dengan menempel label "organik" atau "fair trade" di bungkus produk lalu menyebut diri kita pejuang lingkungan.
Mari kita mulai dari premis yang jujur: etika dalam konsumsi selama ini lebih mirip bumbu penyedap dalam mie instan. Ada di sana, tapi tidak cukup bergizi. Padahal, bumi kita sudah masuk fase indigesti akut. Konsumsi berlebih, terutama di negara-negara kaya, adalah penyebab utama obesitas ekologis planet ini. Kita perlu berhenti menjadikan etika konsumsi sebagai sekadar pilihan di rak supermarket, dan mulai melihatnya sebagai proses sosial-politik yang mencakup tiga tahap: prakonsumsi, konsumsi, dan pascakonsumsi. Menarik, bukan?
Di tahap prakonsumsi, kita diajak merenung sebelum impuls belanja mengambil alih. Mengapa kita ingin membeli sesuatu? Apakah karena butuh, atau karena FOMO (fear of missing out)? Ini adalah tahap di mana etika bisa masuk sebagai pertanyaan: apakah produk ini diperlukan? Apakah ia diproduksi secara adil? Tapi, sayangnya, mayoritas konsumen bukan Socrates. Mereka lebih sering menjawab dengan klik 'beli sekarang' daripada refleksi filosofis. Sungguh ironi: masyarakat yang katanya makin melek informasi justru makin cepat tertipu label hijau.
Lalu kita sampai pada tahap konsumsi. Di sinilah etika diuji: apakah kita memperpanjang umur barang yang kita miliki? Atau malah menjadikannya korban fast fashion dan gonta-ganti gawai tiap enam bulan? Di sini konsep "true materialism" muncul sebagai tandingan dari budaya konsumsi cepat saji: mencintai barang bukan karena statusnya, tapi karena kualitas, fungsi, dan cerita di baliknya. Seperti mencintai pasangan bukan karena fotonya bagus di Instagram, tapi karena dia tahu cara memperbaiki keran bocor.
Namun bagian paling seksi justru di tahap pascakonsumsi. Biasanya di sinilah etika lenyap. Barang dibuang, dilupakan, lalu diganti. Tapi membuang pun adalah tindakan politik. Membagi barang, memperpanjang siklus hidupnya, memberi nilai baru melalui daur ulang atau perbaikan -- itu semua bentuk perlawanan terhadap sistem ekonomi yang mengagungkan kebaruan dan membenci keusangan. Kita harus belajar mencintai barang seperti mencintai lagu lama: tidak basi, justru penuh makna.
Dan di atas semua itu, konsep "care" atau kepedulian menjadi benang merah. Bukan sekadar merasa kasihan pada hutan yang ditebang atau buruh yang dibayar murah, tapi komitmen aktif untuk merawat -- baik manusia, barang, maupun bumi. Ini bukan "care" ala iklan sabun mandi, tapi etika relasi yang mendalam. Dalam logika ini, membeli barang adalah membangun relasi, bukan transaksi. Dan relasi, seperti kita tahu, butuh waktu, perhatian, dan sering kali... perasaan bersalah.
Tapi mari jujur lagi: wacana etika konsumsi tetaplah elitis. Hanya segelintir orang yang punya waktu, uang, dan privilege untuk memilih produk yang etis. Sementara mayoritas masyarakat di negara-negara berkembang seperti Indonesia, lebih pusing mikirin harga minyak goreng. Maka, seruan untuk hidup 'cukup' (sufficiency) hanya masuk akal jika dibarengi keadilan ekonomi. Sebab tak semua orang bisa memilih hidup sederhana, apalagi ketika hidup mereka sudah pas-pasan. Jadi, etika konsumsi tidak bisa berhenti pada individu. Ia harus jadi proyek kolektif, didukung kebijakan, infrastruktur, bahkan reimajinasi ulang makna kebahagiaan dan kemajuan.
Kalau tidak, etika konsumsi hanya akan jadi ajang pencitraan. Seperti influencer yang berkhotbah soal zero waste sambil terbang bolak-balik Bali-Jakarta demi endorse. Atau politisi yang kampanye pakai tote bag dari bahan daur ulang tapi tetap menyetujui proyek tambang di hutan adat. Dalam dunia seperti ini, etika bisa jadi hanya sekadar estetika.
Kesimpulannya? Etika konsumsi bukan soal "membeli dengan hati nurani" semata, tapi menata ulang cara kita hidup dan berelasi. Butuh keberanian untuk melawan siklus keinginan, menolak rayuan diskon, dan mulai bertanya: siapa yang membayar harga murah itu? Karena pada akhirnya, kalau kita tidak peduli, planet ini yang akan menagih utangnya. Dan seperti debt collector, alam tak mengenal kompromi.