Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Prabowo Akan "Berkhianat" pada Jokowi? Coba Kita Lihat!

15 Februari 2025   07:15 Diperbarui: 15 Februari 2025   07:15 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dinamika politik. (Sumber: Presidenri.go.id/Abror)

Sejarah politik Indonesia ibarat sinetron yang alurnya selalu berulang: ada kesetiaan, ada pengkhianatan, ada air mata, dan tentu saja ada adegan tokoh utama yang pura-pura amnesia demi kekuasaan. Kalau kita tilik sejarahnya, silsilah pengkhianatan politik di Indonesia itu panjang. Dari era Sukarno-Suharto, Habibie-Gusdur, Gusdur-Megawati, Megawati-SBY, SBY-Jokowi (penuh drama politik saja, sampai ada upaya kudeta di partai Demokrat), hingga Jokowi-Megawati. Sekarang, publik bertanya-tanya: Apakah Prabowo akan "mengkhianati" Jokowi setelah ia resmi duduk di kursi panas RI-1?

Mari kita kupas..., lap dulu kacamatamu, biar lebih bening.

Sejarah Pengkhianatan Presiden Indonesia

Sebelum membahas Prabowo, mari kita lihat bagaimana setiap presiden sebelumnya "mengkhianati" pendahulunya:

  1. Suharto terhadap Sukarno (1965-1967)
    Sukarno mengangkat Suharto sebagai Jenderal Angkatan Darat, tetapi setelah peristiwa G30S, Suharto mengambil alih kendali pemerintahan. Dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Suharto perlahan melucuti kekuasaan Sukarno hingga akhirnya ia dilengserkan oleh MPRS. Dari pengikut setia, Suharto menjadi pemimpin baru dengan cara yang banyak disebut sebagai kudeta merangkak.

  2. Habibie terhadap Suharto (1998)
    Habibie adalah orang kepercayaan Suharto selama bertahun-tahun, tetapi ketika gelombang reformasi terjadi pada 1998, ia tidak berusaha mempertahankan Suharto di kursinya. Setelah naik menjadi presiden, Habibie justru membuat reformasi besar, termasuk membiarkan Timor Timur lepas dari Indonesia, sesuatu yang bertentangan dengan kebijakan Suharto sebelumnya.

  3. Gus Dur terhadap Habibie (1999)
    Gus Dur menjadi presiden melalui pemilu MPR yang dipengaruhi oleh kegagalan Habibie dalam mempertahankan dukungan politik. Dengan dukungan PDIP dan koalisi reformasi, Gus Dur naik menggantikan Habibie yang tersingkir tanpa perlawanan.

  4. Megawati terhadap Gus Dur (2001)
    Gus Dur awalnya didukung Megawati dan PDIP, tetapi konflik internal pemerintahan dan upaya Gus Dur melawan oligarki politik membuatnya kehilangan dukungan. Megawati yang semula mendukung Gus Dur akhirnya mengambil alih kekuasaan setelah Sidang Istimewa MPR 2001 yang melengserkan Gus Dur.

  5. SBY terhadap Megawati (2004)
    SBY adalah menteri di kabinet Megawati, tetapi ketika pemilu 2004 tiba, ia maju sebagai lawan Megawati dan menang. Ini membuat Megawati merasa dikhianati, karena SBY dianggap mendapat posisi strategis di pemerintahannya tetapi kemudian berbalik menjadi rival.

  6. Jokowi terhadap Megawati (2014-2024)
    Jokowi adalah kader PDIP yang diusung Megawati, tetapi dalam perjalanannya, ia membangun basis kekuatannya sendiri di luar Megawati dan PDIP. Puncaknya terjadi pada Pilpres 2024, ketika Jokowi dianggap lebih mendukung Prabowo dibanding calon resmi PDIP, Ganjar Pranowo.

Jokowi, Sang Pemain Catur Politik yang Cerdik

Jokowi itu bukan sekadar petugas partai, melainkan petugas strategi. Dengan langkah-langkah politik yang lebih cepat dari bidak catur Magnus Carlsen, ia berhasil menempatkan dirinya sebagai kingmaker dalam Pilpres 2024. Alih-alih mendukung calon dari partainya sendiri, PDIP, ia justru mengarahkan angin kemenangan ke Prabowo. Alasan utamanya? Legacy dan suksesi politik.

Jokowi ingin ada kesinambungan dalam kebijakannya, termasuk proyek-proyek prestisiusnya seperti IKN dan industrialisasi. Tapi, seperti kata pepatah, "Politikus merencanakan, politik menentukan." Politik itu dinamis, dan kesetiaan sering kali hanya bertahan selama ada kepentingan bersama.

Jadi, pertanyaannya bukan "Apakah Prabowo akan berkhianat pada Jokowi?", melainkan "Kapan?"

Mengapa Prabowo Bisa Menjauh dari Jokowi?

Ada beberapa skenario menarik yang bisa terjadi setelah Prabowo dilantik sebagai presiden:

  1. "Terima kasih, Pak Jokowi, Tapi..."
    Setelah resmi berkuasa, Prabowo bisa saja mulai membangun dinasti dan pengaruhnya sendiri. Kalau dulu ia harus mengikuti skenario politik Jokowi, kini ia bisa menulis naskahnya sendiri. Perlahan-lahan, ia akan merapikan kabinetnya, mengurangi peran orang-orang Jokowi, dan mengganti aktor lama dengan pemain baru, termasuk mungkin wakilnya.

  2. Partai Koalisi Mulai Saling Lirik
    Jokowi mungkin merasa ia punya kuasa penuh atas Prabowo, tapi jangan lupa ada Megawati yang masih berkutik, ada Golkar yang oportunis, dan ada partai-partai lain yang siap lompat pagar kapan saja. Kalau suatu saat PDIP dan partai-partai lain mulai merapat ke Prabowo, maka Jokowi bisa saja kehilangan pengaruhnya lebih cepat dari perkiraan.

  3. Siapa yang Pegang Ekonomi, Dia yang Menang
    Politik itu bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tapi juga siapa yang menguasai ekonomi. Jika Prabowo merasa kebijakan-kebijakan ekonomi yang selama ini dirancang oleh Jokowi mulai tidak sesuai dengan arah kepemimpinannya, maka ia bisa saja menggantikannya dengan strategi baru. Ini bisa menjadi awal dari "pisah ranjang" secara politik.

  4. Jokowi dan Panggung 2029
    Jangan kira Jokowi akan pensiun nyaman. Ia masih muda (dibanding presiden sebelumnya), dan anaknya, Gibran, sedang disiapkan sebagai pemain politik masa depan. Jika Jokowi terus mengatur strategi untuk 2029 dan Prabowo merasa terganggu dengan langkah-langkah tersebut, maka benturan politik tidak bisa dihindari.

Pengkhianatan atau Sekadar Politik?

Mungkin kata "pengkhianatan" terlalu dramatis. Dalam politik, perbedaan kepentingan itu wajar. Jokowi mungkin sudah memperhitungkan bahwa Prabowo bisa berubah haluan. Dan Prabowo? Ia mungkin juga sudah menyusun strategi bagaimana tetap dekat dengan Jokowi sambil tetap menjaga otonominya sebagai pemimpin baru.

Kesimpulannya: Prabowo bisa saja menjauh dari Jokowi, tapi bukan karena ia "berkhianat." Hanya saja, dalam politik, persahabatan abadi itu mitos, dan kepentingan adalah realitas.

Siapkan kacang tanah rebus, karena episode terbaru dari "Sinetron Politik Indonesia" baru saja dimulai!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun