Sebetulnya saya masih belum yakin tulisan ini mampu menyampaikan kekaguman saya kepada Abang yang satu ini. Kata-kata yang saya gunakan bahkan tak ada yang "pas" untuk memikul makna kekaguman saya. Barangkali akan saya tuliskan juga meski ragu-ragu. Saya awali dengan salam cinta; Assalamualaikum.
Ketika salam saya dijawab oleh suara terdalam (baca; hati) kelegaan akan nampak pada tulisan ini. Saya sebagai seorang adik betapapun merasa bersyukur bisa mengenal sosok yang mewakili segala yang tak pernah saya duga.
Yang saya maksud sebagai yang tak terduga adalah pencapaian-pencapaian yang diterjang oleh Beliau. Kebaikan dan rangkulan saudara atau arahan laku serta ucapan saran setiap jumpa selalu menempel di langit-langit otak saya. Beliau bahkan lebih sering membuat saya berdebar daripada perempuan-perempuan yang menghubungi saya pada pukul dua belas malam. Aneh.
Suara dan senyum yang tak terlupakan bagai pohon rindang lebat yang bersedia memberikan keteduhan atau tempat terbaik untuk berteduh. Di bawah pohon yang beliau tegakkan, saya tumbuh dengan keyakinan yang melangit. Setiap kali saya patah, maka sayap-sayap yang beliau terbangkan melulu jadi atap yang tak hilang maupun berganti.
Dewasa ini, realitas makin kacau dengan isu-isu yang tengah memanaskan pikiran. Rasisme yang urung tuntas, mahasiswa yang mulai turun ke jalan, persoalan tentang RUU, dan cinta yang belum SAH (haha). Namun, saya tetap percaya dengan Beliau yang selalu mengulurkan tangan untuk keluhan rakyat.
Di kadera yang mewakili rakyat, Beliau satu-satunya yang akan gelisah bahkan ketika saya terlambat makan. Tetapi semua persoalan yang melambung saat ini akan berujung pada harapan yang tidak menguntungkan hanya satu atau beberapa pihak. Sebab perjuangan adalah obor estafet yang diturunkan dari zaman sebelum kemerdekaan. Dan Beliau adalah salah satu pemegang obor tersebut.
Selain menegakkan pohon teduh yang menaungkan saya, Beliau juga menjadi tempat berbagi yang asyik. Di beranda rumah selepas Isya adalah waktu terbaik untuk berbicara tentang cita-cita bangsa, atau cita-cita kita. Kemanan adalah kemutlakan sejati bagi kehiduapan. Itu yang dapat saya petik dari pohon besar rindang yang memeluk tubuh Beliau.
Di akhir sebelum surat ini saya usaikan di sini, saya ingin mengutip penggalan sajak Rendra;
"Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat. Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan."
Kira-kira begitulah yang selalu Beliau sampaikan ketika akal sehat saya lebih rendah dari perasaan. Sekian. Wassalam