Sejak berita penembakan massal di Park Avenue, Manhattan, menyebar pada hari Senin, media sosial langsung dipenuhi kabar simpang siur. Dalam hitungan menit, misinformasi meledak, menyulut narasi bahwa tragedi itu adalah aksi terorisme Islam. Beberapa unggahan bahkan menyebut nama Zohran Mamdani, politisi muda dari Partai Demokrat yang sedang mencalonkan diri sebagai wali kota Muslim pertama di New York City, seolah-olah ia terlibat atau terinspirasi pelaku kekerasan.
Tanpa menunggu informasi resmi dari pihak kepolisian, berbagai akun sayap kanan mulai menggiring opini. Tagar-tagar bernada kebencian terhadap Islam dan imigran naik ke jajaran trending. Tokoh sayap kanan Laura Loomer, yang dikenal sebagai penyebar teori konspirasi dan pendukung setia Donald Trump, menuduh terang-terangan bahwa Mamdani "menginspirasi generasi pembunuh polisi pro-Islam." Padahal, belum ada bukti keterlibatan atau hubungan apapun antara pelaku dan Mamdani.
Namun, fakta kemudian menunjukkan bahwa satu-satunya Muslim yang terlibat dalam insiden tersebut justru merupakan salah satu korban, bukan pelaku. Penembakan itu terjadi pada hari Senin, 28 Juli 2025, sekitar pukul 18:30 waktu setempat, dilakukan oleh Shane Devon Tamura, seorang pria kulit putih bersenjata berat, yang akhirnya bunuh diri setelah menewaskan seorang petugas polisi dan tiga orang lainnya. Dalam laporan investigasi mendalam dari The New York Times berjudul "After Park Avenue Shooting, Anti-Muslim Disinformation Spread Rapidly", yang ditulis oleh John Leland dan terbit pada 29 Juli 2025, terbukti bahwa narasi yang menyeret nama Mamdani adalah upaya sistematis penyebaran hoaks yang sarat kebencian agama dan ras.
Dalam konteks ini, teori "Othering" atau pelabelan terhadap kelompok minoritas sangat relevan. Edward Said, dalam gagasannya tentang Orientalism, menjelaskan bagaimana Barat menciptakan citra negatif tentang Timur, khususnya Islam, sebagai "yang asing dan berbahaya." Cara kerja disinformasi terhadap Mamdani mereplikasi skema ini, di mana identitas keislamannya dijadikan alat serangan, bukan platform politik yang adil.
Dari sudut pandang politik, ini adalah strategi kotor yang sayangnya masih jamak dalam demokrasi modern. Calon yang dianggap "terlalu kiri," "terlalu asing," atau "terlalu berbeda" dari arus utama akan selalu menjadi sasaran. Mamdani, seorang Muslim kelahiran Uganda yang tumbuh besar di Queens, telah lama dikenal sebagai aktivis hak-hak penyewa dan keadilan sosial. Namun bagi kelompok ekstremis, keberaniannya menjadi ancaman, bukan inspirasi.
Penyebaran hoaks ini juga menunjukkan bagaimana politik identitas bisa menjadi senjata mematikan dalam kontestasi elektoral. Mengaitkan calon tertentu dengan aksi kekerasan, tanpa dasar, hanyalah bentuk delegitimasi moral dan sosial. Ini bukan hanya serangan terhadap Mamdani pribadi, tapi juga terhadap jutaan Muslim dan imigran yang menjadi bagian sah masyarakat Amerika.
Implikasinya terhadap demokrasi sangat serius. Ketika politik dibajak oleh kebencian, maka pemilu bukan lagi soal adu gagasan, melainkan adu fitnah. Demokrasi kehilangan esensinya jika publik memilih berdasarkan rasa takut dan prasangka, bukan visi dan program.
Namun, di balik gelombang disinformasi, reaksi publik justru menunjukkan ketahanan demokrasi. Banyak tokoh masyarakat, akademisi, hingga aktivis lintas agama menyuarakan pembelaan terhadap Mamdani dan mengutuk politisasi tragedi tersebut. Beberapa media arus utama juga segera meralat informasi yang salah dan menghadirkan klarifikasi berdasarkan fakta.
Secara elektoral, simpati terhadap Mamdani justru meningkat. Ia tampil tenang dan tidak terpancing provokasi. Dalam wawancara terbarunya, ia mengatakan, "Ini bukan tentang saya. Ini tentang apakah kita ingin politik yang menyatukan atau politik yang memecah." Kalimat ini menggemakan semangat Barack Obama saat menghadapi isu rasial di masa kampanyenya.
Peluang Mamdani untuk menang kini justru terbuka lebih lebar. Ia telah menunjukkan karakter kepemimpinan: tenang dalam badai, tegas dalam nilai. Jika kampanye ini berhasil mengubah serangan menjadi solidaritas, maka sejarah bisa mencatat New York sebagai kota pertama yang dipimpin wali kota Muslim---bukan karena agamanya, tapi karena rakyat memilihnya dengan akal sehat, bukan ketakutan.