Mohon tunggu...
Syaefunnur Maszah
Syaefunnur Maszah Mohon Tunggu... Senior Human Capital Strategist, Sekjen Parsindo, Wakil Ketua Peradi DPC

Concern pada masalah sosial kebangsaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mamdani dan Politik Ketakutan Trump

3 Juli 2025   08:29 Diperbarui: 3 Juli 2025   08:29 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mamdani bilang Trump telah menyulut "api perpecahan" menyebut dirinya "komunis gila."(Foto: Hiroko Masuike/The New York Times)

Zohran Mamdani, calon wali kota New York City dari Partai Demokrat, menjadi sasaran serangan keras Presiden Donald Trump bukan karena kesalahan hukum atau kebijakan yang ekstrem, melainkan karena keberhasilannya membangkitkan harapan baru bagi kelas pekerja dan komunitas imigran di tengah ancaman otoritarianisme. Artikel Nicholas Fandos, berjudul: "Mamdani Says Trump Is Attacking Him to Divert Focus From G.O.P. Agenda," The New York Times, 2 Juli 2025, mengungkap betapa berbahayanya keberadaan Mamdani bagi agenda politik sayap kanan, sehingga Trump pun menyerangnya dengan narasi anti-komunis, rasis, dan penuh disinformasi.

Bagi Mamdani, serangan Trump bukan hal personal. Ia membaca serangan itu sebagai strategi pengalihan isu, untuk menutupi agenda besar Partai Republik yang tengah mendorong pemotongan pajak bagi orang kaya dan memangkas program jaring pengaman sosial. "Lebih mudah bagi Trump menyalakan api perpecahan daripada mengakui bahwa ia mengkhianati kelas pekerja," ujar Mamdani di depan para buruh di Manhattan.

Analisis ini diperkuat oleh pendekatan agenda-setting theory dari Maxwell McCombs dan Donald Shaw, yang menyatakan bahwa media dan elite politik cenderung mengalihkan perhatian publik dari isu struktural menuju isu personal dan emosional. Dalam konteks ini, Trump menciptakan musuh publik baru melalui figur Mamdani---seorang Muslim, imigran, dan sosialis demokrat---untuk menghidupkan kembali politik ketakutan seperti yang ia mainkan sejak 2016.

Fandos mencatat bagaimana Trump bahkan melabeli Mamdani sebagai "komunis gila" dan menyebarkan rumor bahwa ia masuk ke Amerika secara ilegal, meski fakta menyatakan bahwa Mamdani telah menjadi warga negara AS sejak 2018. Upaya kriminalisasi terhadap tokoh muda seperti ini sejatinya memperlihatkan betapa rapuhnya politik konservatif saat berhadapan dengan kekuatan progresif yang otentik dan berbasis komunitas.

Menariknya, Mamdani tidak sendiri. Ia didukung oleh berbagai serikat buruh, aktivis perumahan, dan komunitas minoritas, termasuk Yahudi progresif, yang sebelumnya pernah diceritakan oleh The New York Times dalam artikel mendalam tentang basis pemilihnya. Solidaritas ini memperlihatkan bahwa kota seperti New York menginginkan perubahan yang bukan hanya kosmetik, tapi transformatif. Mamdani, dalam hal ini, bukan hanya simbol, tapi juga pemimpin yang mengakar.

Sejumlah tokoh Demokrat utama, seperti Hakeem Jeffries dan Kirsten Gillibrand, ikut mengecam keras serangan Trump terhadap Mamdani. Bahkan Andrew Cuomo, pesaingnya dalam pemilu pendahuluan, menyebut ancaman penangkapan terhadap Mamdani sebagai "penghinaan terhadap prinsip keadilan Amerika." Ini menandakan bahwa Mamdani bukan lagi kandidat pinggiran; ia kini menjadi pusat gravitasi baru dalam politik kota.

Dukungan ini relevan jika dikaitkan dengan teori "window of opportunity" dari Kingdon, yang menjelaskan bagaimana perubahan besar bisa terjadi saat tiga aliran---masalah, kebijakan, dan politik---bertemu. Mamdani hadir di saat yang tepat: ketika krisis kepercayaan terhadap elite lama memuncak, ketika kebijakan sosial dibutuhkan, dan ketika generasi muda menginginkan representasi baru.

Peluang Mamdani menang semakin besar karena narasi Trump justru memperkuat posisinya sebagai simbol perlawanan terhadap otoritarianisme. Sikap diam Eric Adams dan kedekatannya dengan Trump justru membuka ruang lebih besar bagi Mamdani untuk merebut suara independen yang kecewa. Ia bukan hanya kandidat Muslim pertama yang berpotensi menang di NYC, tapi juga dapat menjadi cikal bakal pemimpin nasional yang merepresentasikan wajah baru Amerika.

Dalam jangka panjang, Mamdani bisa mengisi ruang kepemimpinan progresif nasional pasca-Bernie Sanders dan AOC. Ia memiliki kombinasi yang langka: akar gerakan, narasi moral, dan kemampuan membangun koalisi lintas ras, agama, dan kelas. Tak berlebihan jika The New York Times menyebut kampanye Mamdani sebagai "fenomena politik baru" yang mencerminkan perubahan arah sejarah urban Amerika.

Trump menyerangnya karena ia takut: takut pada suara-suara baru yang menyatu dengan tuntutan keadilan sosial, takut pada warga Muslim yang percaya diri memimpin, dan takut pada generasi muda yang tidak tunduk pada politik ketakutan. Dan seperti sejarah sering ajarkan, ketakutan elite lama biasanya adalah tanda bahwa perubahan besar sedang mendekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun