Mohon tunggu...
Achmad Syamsudin
Achmad Syamsudin Mohon Tunggu... -

Apa yang Anda perbuat hari ini, menentukan nasib Anda di masa yang akan datang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Kenetralan Media Massa Dipertanyakan....?

3 Maret 2011   15:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:06 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa informasi adalah hal terpenting dalam kehidupan sehari-hari. Baik untuk individu maupun masyarakat. Dengan adanya informasi, kita dapat menganalisa dan memutuskan untuk berbuat sesuatu atau tidak dengan berpatokan pada informasi yang kita dapat. Ada pepatah yang mengatakan bahwa, “Siapa yang menguasai informasi, dia menguasai dunia”. Siapapun yang mengetahui informasi terlebih dahulu akan dapat memperoleh hasil yang lebih baik daripada orang lain. Bahkan Sun Tzu pun jauh-jauh hari sudah mengingatkannya akan hal ini, dalam strategi peperangan yang ditulis dalam bukunya The Art of War, dia mengatakan, apabila engkau ingin menang dalam peperangan maka ketahuilah terlebih dahulu musuhmu, karena dengan mengetahui musuh maka 50 % dari kemenangan sudah berada ditangan kita. Untuk mendapatkan informasi dapat diperoleh dari berbagai cara, salah satunya dengan media massa. Media massa dapat dijadikan sebagai sumber informasi maupun sebagai media pembelajaran bagi masyarakat.

Media Massa adalah sarana yang digunakan dalam proses komunikasi massa, yakni komunikasi yang diarahkan kepada orang banyak (channel of mass communication). Namun, ketika media massa dikuasai oleh pihak-pihak yang berkepentingan (stake holder), bukan tidak mungkin media massa tersebut akan dijadikan sebagai alat untuk membuat isu-isu atau berita-berita yang “dipelintir” untuk menjatuhkan / menaikkan pihak-pihak tertentu. Dengan berdalih pada UU Pers No 40TAHUN 1999, ada beberapa media yang merasa berhak untuk menyiarkan apa saja, termasuk berita yang menjurus kepada kebohongan public. Hal ini dilakukan demi tercapainya tujuan tersebut, walau pun mereka menyadari adanya kode etik jurnalistik, Komisi Penyiaran atau pun Dewan Pers.

Dari sini, maka muncul lah kurangnya kepercayaan bahkan keluhan-keluhan dari masyarakatterhadap media yang bersangkutan. Seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua KPI Nina Mutmainnah pada 20 Januari 2011 di Jakarta yang intinya bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerima banyak pengaduan masyarakat tentang netralitas isi siaran dua televisi, Metro TV dan TVOne. KPI pun menegur dan memanggil mereka hari Kamis (20/1/2011).

Rupanya, pertanyaan / keluhan masyarakat tentang pemberitaan media massa tidak berhenti di situ saja. Ada juga pejabat pemerintah, seperti Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang menyebut tiga media massa yakni Metro TV, TV One dan Media Indonesia, menyebarkan berita kebencian pada pemerintahan. Dipo menambahkan, Mengkritik pemerintah boleh saja, namun jangan sampai menyebarkan kebencian. Menurut Dipo, saat dirinya mengikuti perjalanan dinas Presiden SBY ke NTT, dua televisi itu menyebut SBY ditolak oleh rakyat NTT yang diaspirasikan dengan demo. Namun sepengamatan Dipo, puluhan ribu orang menjemput SBY dengan senang hati. Dipo menyatakan bahwa berita tersebut mendekati kebohongan dan menebar kebencian di masyarakat kepada pemerintah (www.detiknews.com, 22/02/2011).

Media yang seharusnya mencerdaskan bangsa telah diubah oleh oknum (stake holder) untuk tujuan tertentu (misalnya untuk menjatuhkan kewibawaan pemerintah, atau untuk meningkaatkan popularitas orang tersebut) Jika kita lihat berita di Metro TV milik Surya Paloh, kita tidak akan pernah dengar berita-berita tentang “keburukan” si empunya. Misalnya kasus Surya Paloh tentang PHK secara sepihak pada karyawanHotel Papandayan miliknya. Metro TV atau Media Group enggan memberitakan kasus tersebut, karena akan mengancam popularitasnya. Dan yang pasti, yang diberitakan hanya kebaikan-kebaikannya saja. Hampir tiap waktu, jika kita menonton Metro TV, lagu Hymne Nasional Demokrat senantiasa ter-broadcast.

Kita juga dapat menjumpai di TV One milik Abu Rizal Bakrie. Pada kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwa Bakrie Life (Bakrie Life) yang banyak merugikan banyak nasabah, TV One sungkan untuk menyiarkan berita tersebut, karena akan mencoreng citra Aburizal Bakrie yang sering disebut ingin mencalonkan diri menjadi presiden tahun 2014. Begitu pula kasus lumpur Lapindo. Mungkin dengan terpaksaTV One menyirakan berita tersebut, namun dengan nama yang agak samar, yaitu “Lumpur Sidoarjo”. Lapindo adalah perusahaan milik Bakrie. Kalau disebut lumpur Lapindo, dapat diartikan lumpur tersebut diakibatkan oleh perusahaan Lapindo, walau pun pada kenyatannya memang demikian. Sementara kalau disebut “Lumpur Sidoarjo”, maka seolah-olah lumpur tersebut berasal dari Sidoarjo itu sendiri atau dapat juga diartikan karena sudah takdir. Dan masih banyak berita lain yang tidak diungkap, yang dirasa akan merusak citra dirinya.

Maka dari itu, setiap pembaca, pendengar atau penonton berita harus jeli dalam mengolah informasi yang diterima. Ada juga istilah yang mengatakan harus cek, cek ulang dan cek silang. Ini dilakukan demi tercapainya suatu kebenaran dan kepercayaan. Suatu kebohongan akan dinilai nyata jika kebohongan itu terus-menrus dilakukan. Dalam bertindak harus berdasarkan informasi yang benar dan terpercaya demi tercapainya pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun