Rasanya belum lama Kakorlantas Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho memberlakukan kebijakan pembekuan sementara penggunaan sirene dan strobo bagi iring-iringan kendaraan. Ini merespons gerakan 'Stop Tut Tut Wok Wok' dari masyarakat yang gerah dengan bunyi bising sirene semacam itu maupun perilaku para pengguna nonprioritas yang tidak ingin tertib mengantre di tengah kemacetan.
Sayangnya, baru saja kemarin (12/10/2025) muncul kabar viral menghebohkan. Di Yogyakarta, ada rombongan kendaraan yang kembali menggunakan sirene, seakan mengabaikan kebijakan Polri. Mereka melenggang mulus melewati antrean kemacetan dengan mulusnya berbekal sirene itu.
Masalahnya adalah, rombongan itu justru melewati atau menyalip mobil orang nomor satu di daerah Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang justru dengan cool dan kalem sabar menanti di tengah-tengah kemacetan. Memang kala itu Sri Sultan tidak menggunakan mobil dinas, melainkan mobil pribadinya.
Teladan raja mataram
Sikap Sri Sultan ibarat oase keteladanan yang memberikan kesejukan di tengah keruh pengapnya etika politik maupun bernegara para elit. Bayangkan saja, penguasa tertinggi di suatu wilayah yang bisa saja diistimewakan kalau mau, justru memilih untuk menyerap peluh dan penderitaan rakyat yang terperangkap dalam kemacetan.
Sri Sultan Hamengku Buwono X bukan satu dua kali ini saja memberikan seruan etis secara senyap. Berulang-ulang beliau menjadi corong dari hati nurani masyarakat. Beliau juga yang ikut berkontribusi pada bergulirnya Reformasi 1998 dengan menyelenggarakan pisowanan ageng bersama rakyat Yogyakarta menjelang momen jatuhnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Juga, dengan mengadakan Deklarasi Ciganjur bersama Megawati Soekarnoputri, Gus Dur, dan Amien Rais.
Sri Sultan HB X atau Herjuno meneruskan keteladanan sang ayah, Wakil Presiden ke-2 RI, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Mereka berdua mencerminkan sebagian sikap etis Raja Mataram dalam menjalankan laku kekuasaan.
Menurut John Monfries dalam Raja di Negara Republik (Penerbit Biography, 2018), ada empat sifat utama seorang Raja Jawa. Pertama, ia memiliki wahyu atau semacam legitimasi ilahiah. Kedua, suksesi kepemimpinan Jawa bersifat patrilineal atau diteruskan kepada anaknya.Â
Ketiga, seorang Raja harus melatih pengendalian diri, hemat akan kata-katanya, berempati dengan rakyat, dan mengasihani orang miskin. Keempat, Negara harus dijalankan dengan prinsip kekeluargaan di mana Negara adalah ayah yang penuh kebajikan, sementara seluruh warga dianggap sebagai anak-anak yang harus diperhatikan.Â
Terkait sifat keempat ini, Burhanuddin Muhtadi dalam "Wahyu Keprabon" (Perang Bintang 2014, Noura, 2013) menguraikan penerapan prinsip kekeluargaan ini sebangun dengan cita-cita Negara untuk mencapai kemakmuran berkelanjutan.Â