Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negara Kita Butuh Aktor Politik Berakting Prima

12 Oktober 2025   20:50 Diperbarui: 12 Oktober 2025   20:50 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak ilmuwan sosial menyamakan politik sebagai panggung sandiwara. Mulai dari antropolog Clifford Geertz dengan konsep negara teater sampai sosiolog Erving Goffman dengan teori dramaturginya.

Jika politik adalah panggungnya, para pelaku atau elit politik adalah pemeran utamanya yang menampilkan pertunjukan akting mereka. Di sini, menarik jika kita baca kutipan dari aktor teater Inggris ternama John Gielgud, Acting is half shame, half glory/shame at exhibiting yourself/Glory when you can forget yourself.

Jadi, seorang aktor dikatakan memerankan karakternya dengan baik jika dia malu menampilkan dirinya sendiri. Justru, seorang aktor yang baik harus melupakan dirinya sendiri dan mengabdi pada tuntutan-tuntutan yang diharuskan oleh perannya. 

Memang, pelopor teater realisme Rusia, Stanislavski, secara paradoksal pernah mengatakan akting yang baik itu adalah tidak berakting (Membangun Tokoh, Penerbit Buku Kompas, 2011), sesuatu yang dikenal sebagai 'method acting'. Namun, ia tentu tidak memaksudkan kita berperan sebagaimana diri sendiri apa adanya sehari-hari. Melainkan, para aktor dituntut memikirkan sebuah momen dalam hidup mereka untuk digunakan di dalam peran yang mereka mainkan. Intinya, seorang aktor dituntut untuk lebur ke dalam perannya.

Etika aktor politik

Karena itu, aktor politik pada hakikatnya perlu juga lebur dalam peranan mereka dengan "melupakan" ego, interes, maupun keinginan pribadi atau kelompok mereka. Sebaliknya, para aktor politik wajib tunduk pada interes karakter mereka yang bersifat publik: mengabdi pada kepentingan publik atau rakyat yang telah menitipkan mandat kekuasaannya kepada mereka.

Dalam pagelaran teater politik besar bernama Indonesia saat inilah, kita melihat para aktor politik tampak melupakan kaidah berakting yang baik dari Gielgud maupun Stanislavski. Contoh nyata adalah kegaduhan politik dan kekacauan sosial yang terjadi akhir Agustus lalu akibat insensitivitas para elit politik menguntungkan diri sendiri dengan berbagai tunjangan di tengah kesulitan ekonomi rakyat. Belum lagi wacana berbagai kenaikan pajak, tarif maupun pungutan yang sempat dilontarkan oleh sejumlah aktor eksekutif atau pemerintah.

Di sisi lain, program-program yang konon diabdikan untuk hajat hidup orang banyak seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) ternyata mengandung masalah serius, seperti bahaya keracunan. Belum lagi kelangkaan bahan bakar minyak di sejumlah pom bensin swasta sebagai kompetitor kritis bagi Pertamina.

Akibatnya, sebagian besar penonton teater politik (baca: publik atau rakyat) yang ibarat kata sudah membeli tiket sebagai warga negara lewat berbagai kanal seperti: pemilu, pajak, partisipasi sipil, dan lain sebagainya, tentu kecewa menyaksikan aktor-aktor yang hanya menampilkan ego sendiri, bukan peran yang seharusnya mereka mainkan. 

Perasaan kecewa itu kemudian terakumulasi karena penonton juga gagal terpuaskan dalam pementasan-pementasan sebelumnya, seperti janji 19 juta lapangan pekerjaan, perekonomian yang membaik, dan lain sebagainya.

Kemudian, seruan sejumlah pejabat publik bahwa masyarakat harus tenang dan menempuh mekanisme hukum (seperti judicial review bagi kebijakan yang dirasa tidak baik) menjadi laksana pihak sutradara dan para aktor yang meminta penonton untuk tidak marah-marah kepada mereka. Melainkan, penonton diminta untuk mengajukan gugatan supaya uang tiket mereka dikembalikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun