Beberapa hari yang lalu, saya membawa putra bungsu saya ke puskesmas dengan keluhan batuk pilek demam. Waktu itu, dokter umum meresepkan sejumlah obat dengan sejumlah pantangan makan bagi anak saya, "Pilek biasa Pak, lagi musim," demikian kata sang dokter yang ramah itu.
Namun dua hari meminum obat, anak saya justru mengalami demam yang kian progresif hingga mencapai 39 derajat Celsius di malam hari. Khawatir dan tidak mau ambil risiko, saya memutuskan membawa si bungsu ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit terdekat. Diterima oleh dokter jaga yang komunikatif, anak saya disarankan cek darah. Sambil menunggu hasil, saya menginformasikan kepada dokter jaga mengenai obat-obatan yang sudah diberikan dokter umum di puskesmas dua hari lalu.Â
Alhamdulillah, setelah sekitar 10 menit hasil tes darah keluar. Trombosit, Hb, hematokrit, dan leukosit baik. Hanya, neutrofil dan monosit yang diberi tanda bintang alias tidak normal. Sesudah membaca hasil cek darah, dokter jaga menenangkan saya dan istri sembari berkata bahwa obat-obatan yang diberikan dokter umum di puskesmas sudah tepat. Putra saya diizinkan pulang malam itu juga dengan nasihat untuk mengkonsumsi obat yang ada sampai tuntas. Ketika kami pamit pulang, dokter jaga juga berkata, "kondisi seperti ini memang lagi sering pak, mungkin saja karena virus yang bermutasi atau perubahan cuaca."
Ketika pulang, kata-kata dua dokter yang menangani putra saya terngiang-ngiang di benak: perubahan cuaca alias anomali iklim dan virus atau penyakit yang bermutasi. Berarti manusia, seperti yang dialami putra saya, akan lebih sering terkena penyakit dan itu karena krisis lingkungan yang sebagian diakibatkan oleh ulah kita sendiri.
Secara filosofis, krisis lingkungan terjadi di antaranya karena manusia mengabaikan satu etika bernama ekoteologi. Menurut Yunasril Ali (Mata Air Kebaikan, Elex Media Komputindo, 2015, hlm. 125-126), dalam Islam ekoteologi sebangun dengan ekosentrisme, yang beranggapan bahwa alam bukan hanya memiliki nilai instrumental (baca: nilai-guna untuk dieksploitasi) tapi juga nilai intrinsik (nilai hakiki atau nilai pada-dirinya-sendiri).Â
Karena alam memiliki nilai intrinsiknya, maka manusia tidak boleh semena-mena dalam memperlakukan alam. Dalam khazanah filsafat Barat, etika ini memiliki fondasi yang sepadan dengan ontologi dalam filsafat Spinoza yang memandang bahwa hanya ada satu substansi mutlak yang mengejawantah dalam atribut-atribut tidak terbatas. Alam dianggap memiliki nilai intrinsiknya sendiri sebagai modus bagi keberadaan substansi.
Sementara dari perspektif Sufi, terutama mazhab Ibn Arabi, alam semesta ini adalah wadah tajalli (penampakan diri) Tuhan, yang oleh Alquran disebut sebagai ayat (tanda), suatu pendapat yang membuat Ibn Arabi diidentikkan sebagai penganut doktrin Wahdatul Wujud, meskipun tidak sesederhana itu. Dengan demikian, sejatinya nilai secara intrinsik adalah milik Tuhan, sementara alam dan manusia hanya memiliki nilai instrumental bagi Tuhan.Â
Berdasarkan pandangan tersebut, alam memiliki nilai sakral sebagai wadah penampakan diri Tuhan. Maka itu, memperlakukan alam secara semena-mena adalah perbuatan yang tidak terpuji secara etis dan spiritual. Merusak alam atau mengeksploitasi alam secara berlebihan berarti merusak tanda ketuhanan sekaligus melakukan konfrontasi dengan Tuhan. Hasilnya adalah azab dari Tuhan berupa hukuman lingkungan bagi manusia.
Memang sayangnya, kedatangan modernitas yang mendewakan kemampuan akal manusia membuat manusia lupa diri dan merasa bahwa alam itu tersedia baginya untuk dieksploitasi secara bebas. Alam tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral, melainkan sebagai objek semata yang harus tunduk kepada manusia modern demi memuaskan kebutuhan nafsu manusia yang seakan tiada habis-habisnya.
Konteks saat ini
Dalam konteks kiwari (saat ini) di mana banyak virus bertebaran dan bermutasi, ekoteologi mengajari kita bahwa Tuhan sedang menunjukkan sanksi-Nya dalam bentuk pembalasan alam kepada umat manusia yang sudah berlebihan merudapaksa alam. Keserakahan kita sendiri telah menyerang balik (backfires against us).
Karena itu, satu solusi paradigmatik untuk menjaga (preservasi) lingkungan adalah resakralisasi (mensakralkan kembali) alam atau lingkungan. Caranya adalah dengan mengadopsi perspektif ekotelogis untuk mengambil dari alam sekadar secukupnya saja bagi manusia untuk bertahan hidup dan menegakkan badannya. Hal ini tentu mensyaratkan njuga pengadopsian literasi ekologis atau ecoliteracy sebagaimana disarankan oleh filsuf Fritjof Capra (lihat Jalan Paradoks, Teraju, 2004).
Jadi, umat manusia harus mulai mengadopsi budaya hidup cukup, suatu antitesis dari budaya hidup lebih dalam kapitalisme global. Merujuk Radhar Panca Dahana (Ekonomi Cukup, Penerbit Kompas, 2015), budaya hidup lebih adalah satu cara memandang dan melakoni hidup dengan sebuah nilai-dasar di mana kita merasa wajib mendapat lebih dari apa yang telah kita miliki. Budaya ini menjadi budaya menimbun dan tidak terpuaskan dengan hanya tindakan subsistensi (sekadar memenuhi kebutuhan hidup). Â
Dengan pengadopsian ekoteologi, ekoliterasi, dan budaya hidup cukup lewat berbagai kanal, media dan institusi secara massif, generasi kita sejatinya akan berada dalam jalur yang benar untuk mewariskan kondisi lingkungan yang tetap layak ditinggali bagi generasi berikutnya.Â
Jika tidak, nubuat dari penulis pemenang Pulitzer, Cormac McCarthy, dalam novel The Road (terjemahan, Gramedia, 2009) akan mewujud nyata. Yaitu, manusia akan menjadi makhluk yang ringkih dan siap menikam sesama hanya demi menyambung napas sesaat di tengah situasi muram krisis lingkungan. Dan, kita tentu tidak mau itu terjadi, bukan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI