Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Anomali Iklim Saat Ini, Penyakit yang Bermutasi, dan Ekoteologi

1 Oktober 2025   21:35 Diperbarui: 3 Oktober 2025   05:30 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu, saya membawa putra bungsu saya ke puskesmas dengan keluhan batuk pilek demam. Waktu itu, dokter umum meresepkan sejumlah obat dengan sejumlah pantangan makan bagi anak saya, "Pilek biasa Pak, lagi musim," demikian kata sang dokter yang ramah itu.

Namun dua hari meminum obat, anak saya justru mengalami demam yang kian progresif hingga mencapai 39 derajat Celsius di malam hari. Khawatir dan tidak mau ambil risiko, saya memutuskan membawa si bungsu ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit terdekat. Diterima oleh dokter jaga yang komunikatif, anak saya disarankan cek darah. Sambil menunggu hasil, saya menginformasikan kepada dokter jaga mengenai obat-obatan yang sudah diberikan dokter umum di puskesmas dua hari lalu. 

Alhamdulillah, setelah sekitar 10 menit hasil tes darah keluar. Trombosit, Hb, hematokrit, dan leukosit baik. Hanya, neutrofil dan monosit yang diberi tanda bintang alias tidak normal. Sesudah membaca hasil cek darah, dokter jaga menenangkan saya dan istri sembari berkata bahwa obat-obatan yang diberikan dokter umum di puskesmas sudah tepat. Putra saya diizinkan pulang malam itu juga dengan nasihat untuk mengkonsumsi obat yang ada sampai tuntas. Ketika kami pamit pulang, dokter jaga juga berkata, "kondisi seperti ini memang lagi sering pak, mungkin saja karena virus yang bermutasi atau perubahan cuaca."

Ekoteologi

Ketika pulang, kata-kata dua dokter yang menangani putra saya terngiang-ngiang di benak: perubahan cuaca alias anomali iklim dan virus atau penyakit yang bermutasi. Berarti manusia, seperti yang dialami putra saya, akan lebih sering terkena penyakit dan itu karena krisis lingkungan yang sebagian diakibatkan oleh ulah kita sendiri.

Secara filosofis, krisis lingkungan terjadi di antaranya karena manusia mengabaikan satu etika bernama ekoteologi. Menurut Yunasril Ali (Mata Air Kebaikan, Elex Media Komputindo, 2015, hlm. 125-126), dalam Islam ekoteologi sebangun dengan ekosentrisme, yang beranggapan bahwa alam bukan hanya memiliki nilai instrumental (baca: nilai-guna untuk dieksploitasi) tapi juga nilai intrinsik (nilai hakiki atau nilai pada-dirinya-sendiri). 

Karena alam memiliki nilai intrinsiknya, maka manusia tidak boleh semena-mena dalam memperlakukan alam. Dalam khazanah filsafat Barat, etika ini memiliki fondasi yang sepadan dengan ontologi dalam filsafat Spinoza yang memandang bahwa hanya ada satu substansi mutlak yang mengejawantah dalam atribut-atribut tidak terbatas. Alam dianggap memiliki nilai intrinsiknya sendiri sebagai modus bagi keberadaan substansi.

Sementara dari perspektif Sufi, terutama mazhab Ibn Arabi, alam semesta ini adalah wadah tajalli (penampakan diri) Tuhan, yang oleh Alquran disebut sebagai ayat (tanda), suatu pendapat yang membuat Ibn Arabi diidentikkan sebagai penganut doktrin Wahdatul Wujud, meskipun tidak sesederhana itu. Dengan demikian, sejatinya nilai secara intrinsik adalah milik Tuhan, sementara alam dan manusia hanya memiliki nilai instrumental bagi Tuhan. 

Berdasarkan pandangan tersebut, alam memiliki nilai sakral sebagai wadah penampakan diri Tuhan. Maka itu, memperlakukan alam secara semena-mena adalah perbuatan yang tidak terpuji secara etis dan spiritual. Merusak alam atau mengeksploitasi alam secara berlebihan berarti merusak tanda ketuhanan sekaligus melakukan konfrontasi dengan Tuhan. Hasilnya adalah azab dari Tuhan berupa hukuman lingkungan bagi manusia.

Memang sayangnya, kedatangan modernitas yang mendewakan kemampuan akal manusia membuat manusia lupa diri dan merasa bahwa alam itu tersedia baginya untuk dieksploitasi secara bebas. Alam tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral, melainkan sebagai objek semata yang harus tunduk kepada manusia modern demi memuaskan kebutuhan nafsu manusia yang seakan tiada habis-habisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun