Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mewujudkan Kebaikan Tata Kelola Pemerintahan, Perspektif Kantian

6 September 2025   22:23 Diperbarui: 6 September 2025   22:23 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret filsuf Immanuel Kant (Sumber: wikipedia)

Meski sudah berangsur damai, kondisi negeri ini pasca rangkaian demonstrasi akhir Agustus 2025 lalu masih berada dalam tarik menarik antara perjuangan masyarakat sipil dalam mendesakkan aspirasi kewargaannya dan keberjarakan penguasa dengan rakyat yang diwakilinya. Adanya sinyalemen bahwa aksi masyarakat sipil ditunggangi sebenarnya bak menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Secara logika, penunggangan hanya bisa terjadi ketika ada momentum genealogis atau awal. Dan awal itu adalah karena tata kelola negara yang nampak semrawut serta perilaku sebagian oknum pejabat negara yang tak patut.

Singkat kata, akar hiruk-pikuk maupun kerusuhan di negeri ini beberapa waktu lalu adalah tata kelola negara maupun pemerintahan yang masih perlu banyak perbaikan. Mewujudkan tata kelola yang demikian akhirnya menjadi keniscayaan. Untuk keperluan itu, kita bisa mengadopsi perspektif Kantian alias memetik inspirasi dari filsafat politik filsuf besar Jerman, Immanuel Kant (1724 - 1804).

Negara hukum

Meski lebih tersohor dengan pemikiran metafisika dan epistemologinya yang rumit, Kant sebenarnya juga seorang etikus ulung. Bahkan, Kant mampu memberikan sumbangan berharga terkait etika politik mengenai tata kelola pemerintahan, demokrasi, dan implementasi perlindungan hak asasi. Mengutip pendapat Romo Franz Magnis-Suseno dalam "300 Tahun Pemikiran Immanuel Kant" (sisipan Majalah Tempo 29 April - 5 Mei 2024), Kant menuntut semua manusia diperlakukan sebagai tujuan, bukan sarana atau alat. Ada penghormatan terhadap setiap individu dan haknya karena setiap individu itu penting sehingga tidak boleh dilanggar haknya demi sebuah keuntungan yang banyak.

Kemudian, Kant berpendapat bahwa kekerasan-sesuatu yang pasti dihindari manusia dan akan membuat tenteram suatu negara-dapat dicegah jika semua orang, termasuk mereka yang memiliki kekuasaan, meyakini bahwa mereka wajib bertindak dalam kerangka  negara hukum. Kant mengatakan bahwa jika hukum adil serta bijaksana dan penguasa bertindak menurut hukum, ketaatan terhadap hukum akan gampang dilakukan. Orang akan taat bukan hanya karena merasa wajib, tapi juga lantaran ketaatan itu masuk akal.

Sebagai contoh, orang menaati lalu lintas bukan karena merasa wajib akibat takut terhadap polisi, melainkan karena ketaatan itu masuk akal supaya semua pengguna jalan selamat. Bagi Kant, dengan menghormati hak asasi setiap orang dan berpegang pada prinsip negara hukum dan bertindak dalam kerangka hukum, masyarakat akan damai dan tenteram.

Relevansi

Pemikiran singkat Kant di atas sungguh relevan jika kita petakan pada situasi saat ini. Pertama, elit politik dalam berbagai pemilu selama ini terasa memperlakukan rakyat hanya sebagai alat untuk diambil suaranya demi bisa bertengger di pucuk kekuasaan. Padahal, sesudah kekuasaan digenggam, suara masyarakat pun terlupakan. Banyak elit politik akhirnya terjebak dalam politik transaksional yang membeli suara rakyat lewat janji manis ataupun politik uang, sehingga mereka merasa sebagai konsumen yang langsung bisa meninggalkan rakyat ketika transaksi elektoral selesai. 

Dedikasi kemudian ditujukan kepada kekuatan modal ataupun partai, bukan kepada rakyat pemilih alias konstituen. Terciptalah kemudian jarak menganga antara pejabat dengan rakyat. Akibatnya adalah kejadian-kejadian tragis yang kita saksikan belakangan ini, yaitu ketika seorang legislator justru menghina intelektualitas rakyat yang merupakan pemberi mandat kepada dirinya.

Kedua, karena terbiasa dalam pola pikir transaksional dan pembendaan (reifikasi) manusia, hal demikian merembet ke penerapan hukum. Pendekatan rasional yang mestinya diterapkan dalam hukum sering berubah menjadi pendekatan transaksional. Sebagai contoh, produk-produk legislasi (perundang-undangan) yang berorientasi elitis seperti UU KPK yang ditengarai justru melemahkan lembaga antirasuah itu bisa disahkan dengan cepat. Akan tetapi, rancangan undang-undang seperti RUU Perampasan Aset yang dibutuhkan publik untuk memberantas korupsi malah terkatung-katung lama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun