Salah satu tantangan ekonomi yang dihadapi negeri ini adalah terus naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok. Ini terutama terjadi di tengah ancaman cuaca ekstrem yang kerap menggagalkan panen atau menghambat distribusi komoditas, akibat banjir misalnya.
Maka itu, kita bangsa harus lebih siap menghadapi tantangan ini dan mulai memperkuat ketahanan pangan secara sistematis. Salah satu caranya, kita bisa menggali sejumlah khazanah kearifan lokal (local wisdom) bangsa kita terkait ketahanan pangan.
Kearifan Badui dan Mentawai
Setidaknya ada dua kearifan lokal yang layak kita tengok untuk memperkuat ketahanan pangan kita. Pertama, kearifan budaya Badui terkait konsumsi beras. Menurut Andreas Maryoto dalam Jejak Pangan (Penerbit Kompas, 2006), penduduk Badui masih mempertahankan lumbung pangan bernama leuit sebagai pranata ketahanan pangan. Kepemilikan lumbung ini dibagi menjadi dua macam: lumbung bersama yang diisi gabah dari hasil padi yang ditanam secara bersama-sama dan lumbung keluarga sebagai lumbung keluarga tertentu yang diisi gabah dari hasil budidaya masing-masing penduduk.
Yang menarik dari kearifan Badui ini adalah leuit menerapkan banyak hari pantangan bagi penduduk untuk menarik gabah. Untuk itu, penduduk harus memperkirakan jumlah kebutuhan gabah, termasuk kalau mau mengadakan pesta.Â
Pada gilirannya, hal ini akan memperkuat swasembada pangan karena orang Badui harus melakukan pengaturan sendiri secara cermat kebutuhan mereka supaya makanan tidak cepat habis. Kondisi gabah pun lebih awet karena kondisi leuit tentu jarang terbuka akibat pantangan-pantangan tadi, sehingga meminimalkan potensi serangan serangga atau hewan lainnya menyerbu dan merusak gabah di dalam leuit.
Selain itu, masyarakat Badui punya keyakinan bahwa memberi itu lebih baik dari diberi. Artinya, masyarakat Badui harus berusaha memiliki gabah yang cukup supaya mereka tidak perlu mengundang iba dan bantuan dari sesama warga Badui. Â
Kedua, kearifan lokal Mentawai. Sebagaimana dikemukakan Darrell Addison Possey dalam Culture and Spiritual Values of Biodiversity (1999), masyarakat Mentawai meyakini bahwa semua ciptaan adalah satu kesatuan menyeluruh yang harmonis. Berdasarkan keyakinan ini, mereka percaya bahwa semua unsur dalam alam memiliki ruh atau jiwa. Â
Meski demikian, itu tidak berarti manusia diharamkan untuk memanfaatkan alam, binatang atau tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, masyarakat adat Mentawai justru bergantung pada binatang dan tumbuhan. Sebab, mata pencaharian utama mereka adalah berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan hasil hutan. Hanya saja, semua aktivitas bertahan hidup itu ditempatkan dalam kerangka kesalingterhubungan antar elemen alam dalam sakralitas mereka.Â
Oleh karena itu, segala aktivitas tersebut memiliki tabu dan upacara adat-keagamaan pun dibutuhkan demi mengungkapkan sikap hormat terhadap makna kehidupan elemen alam itu sendiri. Artinya, karena setiap elemen alam memiliki jiwa atau hidup, maka pemanfaatan jiwa mereka untuk kepentingan manusia harus disertai semacam "permintaan izin" lewat upacara agama kepada yang empunya jiwa. Sekaligus, ini menjadi bentuk pengluhuran terhadap alam semesta.
Dengan kata lain, masyarakat adat Mentawai meletakkan relasi ketergantungan manusia pada alam sebagai relasi subsistensi. Maksudnya, penggunaan alam oleh manusia terbatas semata untuk bertahan hidup (subsisten), bukan untuk eksploitasi demi menangguk keuntungan berlebih. Â
Terlihat betapa relevannya ajaran lokal di atas bagi upaya memperkuat ketahanan pangan. Sedikitnya ada dua inspirasi. Pertama, manusia perlu menjadi perencana yang rasional dan cermat dalam menata kebutuhan pangannya masing-masing. Apabila kebutuhan mereka akan satu komoditas, katakanlah beras, sulit tercukupi oleh stok yang ada, maka manusia bisa melakukan diversifikasi pangan dengan beralih ke bahan makanan lain seperti: singkong, kentang, dan lain sebagainya. Jadi, kita jangan terlalu tergantung pada satu komoditas sehingga repot harus mencari sumber impor tatkala kebutuhan kita sulit terpenuhi.
Kedua, manusia juga harus menahan keserakahan konsumtif yang ada di dalam diri mereka. Kita perlu mengingat bahwa makan itu untuk hidup, bukan hidup itu untuk makan, sebagaimana diajarkan masyarakat Mentawai. Maksudnya, kita harus mulai menyantap segala sesuatu dalam takaran secukupnya. Ini bukan karena kita pelit dan irit, melainkan karena kita sadar perlunya menghindari kemubaziran komoditas pangan yang bisa membahayakan ketahanan pangan kita.Â
Sayang seribu sayang, kedatangan modernitas yang bergandeng tangan dengan kapitalisme neoliberal telah menghancurkan nilai-nilai luhur di atas. Sebab, sebagaimana asumsi modernitas yang menempatkan manusia seakan makhluk yang paling unggul di semesta alam ini, manusia menganggap alam ini tersedia bagi mereka untuk digunakan sepuas-puasnya.Â
Ditambah dengan adagium greed is good (serakah itu baik) dan everything is capital and economic (segala sesuatu itu modal dan ekonomi) dari paham kapitalisme neoliberal, manusia pun berlomba-lomba melakukan praktik-praktik zalim. Contoh: manusia melakukan penimbunan komoditas bahan pokok demi memupuk keuntungan materi. Atau, melakukan konsumsi tanpa perhitungan karena merasa sumber daya alam itu sangat berlimpah dan tak akan kunjung habis.Â
Akhirulkalam, sudah saatnya bagi kita sebagai bangsa yang kaya budaya untuk kembali menengok khazanah kearifan lokal kita yang masih aktual dan konkret bagi upaya kita memperkuat ketahanan pangan, yang sejatinya merupakan bagian dari konsep ketahanan lebih besar bernama "ketahanan nasional."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI